Thursday, January 30, 2014

indonesia hari ini

Indonesia adalah salah satu negara pengirim buruh migran terbesar di Asia. Berdasarkan data yang dirilis BNP2TKI hingga tahun 2012, jumlah buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri telah mencapai 6,5 juta orang. Angka tersebut tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias ilegal. Ditengarai jumlahnya tidak kurang dari 10 juta orang.
Julukan yang disematkan kepada BMI sebagai ‘pahlawan devisa’ tentu bukanlah isapan jempol, ditunjukan dengan nilai remitansi yang dikirimkan. Berdasarkan data Bank Indonesia yang dirilis oleh BNP2TKI menyebutkan bahwa jumlah remitansi yang dikirimkan oleh BMI per mei 2013 sekurangnya berjumlah Rp 36,5 triliun. Angka tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya. Dilihat dari potensi neraca penerimaan negara dari remitansi ini sangat fantastik, ini merupakan angka penerimaan tertinggi kedua setelah sektor migas.
Besarnya potensi remitansi memberikan dampak besar kepada kehidupan BMI dan keluarganya. Secara umum, aliran dana dari luar negeri ini sebagian besar dipergunakan untuk kebutuhan hidup seperti membangun rumah, pendidikan anak, membayar hutang, membeli kendaraan, perabotan rumah dan konsumsi sehari-hari. Fakta ini mengindikasikan adanya keterkaitan antara aktifitas migrasi dengan strategi bertahan hidup (survival strategy). Sejurus dengan itu, dampak im-material remitensi adalah adanya perubahan perilaku konsumsi. Dalam konteks ini, aktifitas konsumsi buruh migran dan keluarganya tidak lagi berorientasi pada nilai guna (used value), tetapi telah berubah menjadi makna simbolik yang menandai status, kelas, dan simbol tertentu. Inilah yang menjadi titik persoalan ketika tujuan semula melakukan migrasi menjadi kontra-produktif dengan kenyataan pemenuhan kebutuhan yang lebih berorientasi pada pemenuhan gaya hidup, gengsi dan prestise. Dengan demikian, remitansi yang dihasilkan selama bekerja di luar negeri belum teralokasi secara sistematis sebagai sebuah aset produktif yang berarti bagi kehidupan ekonomi BMI dan keluarganya dalam jangka panjang. Sehingga secara umum, BMI dan keluarganya sangat rentan terperangkap dalam jurang kemiskinan. Rangkaian fakta ini menunjukan adanya permasalahan sosio-ekonomi dalam proses migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Dalam banyak kesempatan, pemerintah menyebutkan bahwa pengiriman
tenaga kerja ke luar negeri adalah kebijakan sementara (temporary policy) di saat
kemampuan untuk menyediakan kesempatan kerja di dalam negeri masih sangat
terbatas. Hal ini juga selaras dengan perhatian pemerintah dalam program
pengentasan kemiskinan dan pembangunan daerah. Potensi remitansi diharapkan
mampu mendorong perbaikan ekonomi pada level keluarga dan komunitas,
sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi lokal. Pada titik inilah, terdapat
kesenjangan antara harapan dengan realitas. Secara umum, pilihan menjadi buruh
migran belum mampu menjadi instrumen yang efektif sebagai pemutus mata rantai
kemiskinan dan keberlanjutan ketahanan ekonomi keluarga.
Berbasis kondisi tersebut di atas, sejumlah pihak dari kalangan pemerintah
maupun masyarakat sipil telah berupaya menjalankan sejumlah inisiatif dalam
kerangka optimalisasi potensi ekonomi BMI sebagai instrumen untuk pengembangan
kemandirian ekonomi keluarga dan komunitasnya. Namun demikian, langkah ini
belum menjadi arus besar (mainstream) dan seakan tenggelam di tengah isu utama
selama ini yang menjadi perhatian banyak pihak yaitu perlindungan BMI dan
keluarganya. Padahal kemandirian ekonomi adalah bagian tidak terpisahkan dalam
konteks perlindungan sejati BMI dan keluarganya.
Dalam konteks inilah, Migrant Institute sebagai salah satu komponen
masyarakat sipil melihat perlu adanya konsolidasi yang mempertemukan seluruh
elemen gerakan BMI dalam kerangka mendorong kemandirian BMI dan keluarganya.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2012
TENTANG
SANKSI ADMINISTRATIF DALAM PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.05/MEN/III/2005 tentang Ketentuan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penjatuhan Sanksi dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri;
b. bahwa Ketentuan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penjatuhan Sanksi dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Republik Indonesia nomor 4445 );
2.
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG SANKSI ADMINISTRATIF DALAM PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
2. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
3. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
4. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.
5. Pelaksana Penempatan TKI Swasta yang selanjutnya disingkat PPTKIS adalah badan hukum yang memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri.
6. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
7. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disingkat SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta.
8. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan pada calon pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu.
9. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
3
10. Direktur Jenderal yang selanjutnya disebut Dirjen adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang penempatan tenaga kerja luar negeri.
11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB II
KEWENANGAN PENJATUHAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 2
Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi administratif adalah:
a. Menteri;
b. Dirjen.
Pasal 3
(1) Sanksi administratif terdiri dari:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI, yang selanjutnya disebut skorsing;
c. pencabutan izin;
d. pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau
e. pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dikenakan kepada PPTKIS.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, dikenakan kepada calon TKI/TKI.
BAB III
TATA CARA PENJATUHAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 4
(1) Dirjen menjatuhkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, dalam hal PPTKIS:
a. tidak membentuk Perwakilan di negara TKI ditempatkan sesuai ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
b. tidak melaporkan setiap keberangkatan calon TKI kepada Perwakilan RI di negara tujuan sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
c. tidak melaporkan kedatangan bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan kepada Perwakilan RI di negara tujuan sesuai ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
d. tidak melaporkan kepulangan bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan kepada Perwakilan RI di negara tujuan sesuai ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.
4
(3) Dalam hal PPTKIS tidak memenuhi kewajiban dalam waktu yang ditetapkan atau melakukan kesalahan lain di luar kesalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dirjen menjatuhkan skorsing.
(4) Bentuk Surat Peringatan Tertulis, menggunakan Format I sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Dirjen menjatuhkan sanksi administratif berupa skorsing, dalam hal PPTKIS:
a. tidak menambah biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
b. mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI sesuai ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
c. tidak menyampaikan secara lengkap dan benar informasi yang telah mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kepada calon TKI sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
d. tidak melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI kepada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
e. tidak melakukan pengurusan persetujuan perpanjangan perjanjian kerja dan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
f. tidak mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan, sesuai ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
g. menempatkan TKI tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dan ditandatangani sesuai ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
h. tidak mengurus TKI yang meninggal dunia sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
i. tidak memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan sesuai ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
(2) Bentuk Keputusan Dirjen mengenai skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), menggunakan Format II sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
(1) Skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
5
(2) Dalam keputusan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dirjen menetapkan kewajiban yang harus dipenuhi PPTKIS selama menjalani skorsing.
(3) Dalam hal masa skorsing telah berakhir dan PPTKIS tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 7
(1) Bagi PPTKIS yang sedang menjalani masa skorsing, melakukan pelanggaran lain yang diancam sanksi yang sama, maka PPTKIS dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPPTKI.
(2) Dalam hal PPTKIS mendapat 2 (dua) kali skorsing selama periode 12 (dua belas) bulan, maka Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 8
(1) PPTKIS yang dikenakan skorsing wajib bertanggung jawab atas pemberangkatan calon TKI yang telah memiliki dokumen lengkap.
(2) Selama dikenakan skorsing, PPTKIS dilarang melakukan rekrut atau kegiatan penempatan TKI sebagaimana diatur dalam keputusan skorsing.
(3) Dalam hal PPTKIS yang sedang menjalani skorsing ternyata melakukan kegiatan penempatan yang seharusnya dilarang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 9
(1) Dalam hal PPTKIS yang dijatuhi skorsing telah memenuhi kewajiban sebelum masa skorsing berakhir, PPTKIS harus melaporkan kepada Dirjen.
(2) Dalam hal laporan PPTKIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai benar, Dirjen mencabut keputusan skorsing.
Pasal 10
(1) Dalam hal PPTKIS telah selesai menjalani skorsing dan telah menyelesaikan kewajiban, PPTKIS harus melapor kepada Dirjen dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak masa skorsing berakhir.
(2) Dalam hal laporan PPTKIS dinilai telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam keputusan skorsing, maka Dirjen menerbitkan keputusan pencabutan skorsing terhadap PPTKIS yang bersangkutan.
(3) Bentuk Keputusan Dirjen mengenai skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), menggunakan Format III sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal laporan dinilai tidak sesuai dengan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam keputusan skorsing, maka Menteri mencabut SIPPTKI.
6
Pasal 11
Dalam hal skorsing telah berakhir dan PPTKIS tidak melaporkan kepada Dirjen tentang pemenuhan kewajibannya, maka Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 12
(1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan SIPPTKI, dalam hal:
a. menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sesuai ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
b. melakukan perekrutan tanpa memiliki SIP sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
c. tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sesuai dengan perjanjian penempatan, sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
d. membebankan biaya penempatan kepada calon TKI melebihi komponen biaya, sesuai ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
(2) Bentuk Keputusan Menteri mengenai pencabutan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 10 ayat (4), Pasal 11, dan Pasal 12 ayat (1), menggunakan Format IV sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 13
Dalam hal SIPPTKI telah dicabut, PPTKIS yang bersangkutan tetap berkewajiban untuk:
a. mengembalikan seluruh biaya yang telah diterima dari calon TKI yang belum ditempatkan sesuai dengan perjanjian penempatan;
b. memberangkatkan calon TKI yang telah memenuhi syarat dan memiliki dokumen lengkap dan visa kerja;
c. menyelesaikan permasalahan yang dialami TKI di negara tujuan penempatan sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja TKI yang terakhir diberangkatkan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun; dan
d. mengembalikan SIPPTKI kepada Menteri.
Pasal 14
PPTKIS yang telah dijatuhi sanksi pencabutan SIPPTKI dapat mengajukan permohonan SIPPTKI baru setelah melewati tenggang waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan SIPPTKI dengan ketentuan yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Peraturan Menteri ini dan memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
7
Pasal 15
(1) Sanksi administratif berupa pembatalan keberangkatan, dikenakan dalam hal calon TKI:
a. tidak bersedia menandatangani perjanjian kerja, sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
b. tidak mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI sesuai ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004;
c. tidak memiliki dokumen penempatan dan KTKLN sesuai dengan ketentuan Pasal 51, Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 105 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
(2) Keberangkatan calon TKI perseorangan dapat dibatalkan apabila tidak mempunyai dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, antara lain visa kerja, paspor, perjanjian kerja, tiket keberangkatan, bukti pembayaran biaya pembinaan TKI, bukti kepesertaan asuransi TKI, dan KTKLN sesuai ketentuan Pasal 105 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
Pasal 16
(1) Untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa skorsing atau pencabutan SIPPTKI, Menteri dapat membentuk Tim.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari unsur Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, dan Inspektorat Jenderal.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri atau Dirjen mengenai sanksi yang akan dijatuhkan.
(4) Dalam menjatuhkan sanksi administratif, Menteri atau Dirjen dapat mempertimbangkan saran atau pendapat dari pihak terkait lain.
Pasal 17
Sebelum menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan SIPPTKI, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat meminta keterangan dari PPTKIS.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.05/MEN/III/2005 tentang Ketentuan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penjatuhan Sanksi dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
8
Pasal 19
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DRS. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.SI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 970
9
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2012
TENTANG
SANKSI ADMINISTRATIF DALAM PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
FORMAT PENJATUHAN SANKSI ADMINISTRATIF
I. PERINGATAN TERTULIS
II. PENGHENTIAN SEMENTARA ATAU SELURUH KEGIATAN USAHA PENEMPATAN (SKORSING)
III. PENCABUTAN PENGHENTIAN SEMENTARA ATAU SELURUH KEGIATAN USAHA PENEMPATAN (SKORSING)
IV. PENCABUTAN SIPPTKI
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.SI
10
FORMAT I
PERINGATAN TERTULIS
KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I.
DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 51 Telp. 5260482 Fax. (021) 5252730 Jakarta 12950
Jakarta,.....................
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Peringatan Tertulis
Yth.
Direktur Utama
PT ....................................................
Sehubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan Saudara yaitu …………… maka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor ....... Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, perusahaan Saudara telah memenuhi syarat untuk dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kepada:
Nama Perusahaan : PT. …………………………………
Nomor SIPPTKI : ………………………………………
Nama Penanggung Jawab : ………………………………………
Alamat : ……………………………………….
Selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat PERINGATAN TERTULIS ini Saudara wajib melakukan
Apabila dalam jangka waktu tersebut Saudara tidak menyelesaikan kewajiban, maka kami menjatuhkan sanksi administratif berupa skorsing.
Demikian untuk dilaksanakan.
DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA,
…………………………………….
NIP……………………………….
Tembusan:
1. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI,
2. ………………………………………………………,
3. dst
11
FORMAT II
PENGHENTIAN SEMENTARA ATAU SELURUH KEGIATAN USAHA PENEMPATAN (SKORSING)
KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I.
DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 51 Telp. 5260482 Fax. (021) 5252730 Jakarta 12950
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
NOMOR:
TENTANG
PENGHENTIAN SEMENTARA SEBAGIAN ATAU SELURUH KEGIATAN
PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA (SKORSING)
PT………………………………………..
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor ......... tanggal ……. tentang ……………, PT. ………… telah memiliki izin usaha sebagai pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri;
b. bahwa perusahaan Saudara telah melakukan pelanggaran:
1. ................................................;
2. ................................................;
3. ................................................;
4.dst
atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam Surat Peringatan Tertulis, sehingga perusahaan Saudara telah memenuhi syarat untuk dijatuhi sanksi administratif berupa skorsing berdasarkan Pasal ... Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.... Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor ........... Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Nomor ..);
12
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU : Menjatuhkan sanksi administratif berupa skorsing terhadap PT. …………................. selama ………. bulan sejak tanggal ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal ini.
KEDUA : Selama masa skorsing PT.................. dilarang melakukan:
a. …………………………………………………………………………;
b. …………………………………………………………………………;
c. dst.
KETIGA : Dalam masa skorsing PT. ……………berkewajiban untuk:
a. …………………………………………………………………………;
b. …………………………………………………………………………;
c. dst.
KEEMPAT : Apabila masa skorsing telah berakhir dan PT. ……… tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, maka PT.……. akan dikenakan sanksi administratif berupa Pencabutan SIPPTKI, sesuai Pasal … Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor… Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
KELIMA : PT.………………….. wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA.
KEENAM : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA,
…………………………………….
NIP……………………………….
Tembusan:
1. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI,
2. ………………………………………………………,
3. ………………………………………………………,
4. dst.
13
FORMAT III
PENCABUTAN PENGHENTIAN SEMENTARA SEBAGIAN ATAU SELURUH KEGIATAN PENEMPATAN TKI (SKORSING)
KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I.
DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 51 Telp. 5260482 Fax. (021) 5252730 Jakarta 12950
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
NOMOR:
TENTANG
PENCABUTAN PENGHENTIAN SEMENTARA SEBAGIAN ATAU
SELURUH KEGIATAN USAHA PENEMPATAN TKI (SKORSING)
PT......…………………
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor ..... tanggal ……. tentang …………........….., PT. ………...… telah memiliki izin usaha sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri;
b. bahwa PT. …………… telah dijatuhi sanksi administratif berupa sanksi skorsing dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Nomor ...... tentang Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Kegiatan Usaha Penempatan TKI (Skorsing) PT...........................;
c. bahwa PT. .............................. telah memenuhi kewajiban sebagaimana diperintahkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Nomor ................. tentang Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Kegiatan Usaha Penempatan TKI (Skorsing);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b dan huruf c, maka ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri untuk mencabut Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Kegiatan Usaha Penempatan TKI (Skorsing) atas nama PT. ...................................;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
14
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.10/MEN/V/2009 tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan dan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor .. Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERTAMA : Mencabut Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Nomor …… tentang Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Kegiatan Usaha Penempatan TKI (Skorsing) atas PT. ……… sejak tanggal ditetapkan Keputusan ini.
KEDUA : Dengan dicabutnya Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud Diktum PERTAMA maka PT. ……….. dapat melakukan kembali kegiatan penempatan TKI ke luar negeri sesuai dengan SIPPTKI Nomor .......................
KETIGA : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA,
……………………………….
NIP. ………………………….....
Tembusan Kepada Yth.:
a. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
b. ………………………………………………………;
c. ………………………………………………………;
d. dst.
15
FORMAT IV
PENCABUTAN SIPPTKI
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
TENTANG
PENCABUTAN SURAT IZIN PELAKSANA
PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA PT.……………
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor............. tentang Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, PT.………… telah memiliki izin usaha sebagai pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri;
b. bahwa PT. ……………… telah melakukan pelanggaran:
1. …………….
2. …………….
3. …………….
4. dst
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, maka PT. .......... telah memenuhi syarat untuk dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPPTKI sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor ... Tahun 2012 jo. Pasal ... Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Menteri tentang Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia PT. ........;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.10/MEN/V/2009 tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan dan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU : Mencabut Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) Nomor ..... tanggal .. atas nama PT. ....
16
KEDUA : Dengan dicabutnya SIPPTKI, maka PT......... dilarang melakukan kegiatan penempatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri beserta peraturan pelaksanaannya.
KETIGA : PT. .......... berkewajiban untuk:
a. mengembalikan seluruh biaya yang telah diterima dari calon TKI yang belum ditempatkan sesuai dengan perjanjian penempatan;
b. memberangkatkan calon TKI yang telah memenuhi syarat dan memiliki dokumen lengkap dan visa kerja;
c. menyelesaikan permasalahan yang dialami TKI di negara tujuan penempatan sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja TKI yang terakhir diberangkatkan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun;
d. tetap bertanggung jawab terhadap TKI yang telah ditempatkan dan masih berada di luar negeri sampai kepulangan TKI tersebut di Indonesia.
KEEMPAT : Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja.
KELIMA : PT. ........ wajib mengembalikan asli Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Nomor ........... tanggal ............ kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja.
KEENAM : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
Tembusan:
1. Sekretaris Jenderal Kemnakertrans;
2. Dirjen Binapenta Kemnakertrans;
3. Dirjen Protokol dan Konsuler, Kemlu;
4. Dirjen Imigrasi, Kemkum HAM;
5. Dirjen Pajak, Kemkeu;
6. Kepala Perwakilan RI di Negara tujuan penempatan TKI;
7. Kepala Polri;
8. Kepala BNP2TKI;
9. Kepala Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi seluruh Indonesia;
10. Kepala Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di Kab/Kota seluruh Indonesia;
11. Kepala BP3TKI di seluruh Indonesia;
12. Ketua Asosiasi PPTKIS;
13. Dirut PT. ....................

Tuesday, January 28, 2014

konvensi buruh migrant

Bahasa Indonesia Version:
UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Member of Their Families
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh
Migran dan Anggota Keluarganya
PEMBUKAAN
Negara – negara peserta pada Konvensi ini,
Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumeninstrumen
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak asasi manusia,
khususnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional tentang
Hak sipil dan Politik, Kovensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Konvensi Hak Anak,
Memperhatikan juga prinsip-prinsip dan standar-standar yang
dicantumkan dalam instrumen-instrumen terkait yang diuraikan dalam
kerangka kerja Organisasi Buruh Internasional (ILO), khususnya Konvensi
mengenai Migrasi untuk Bekerja (No.97), Konvensi mengenai Migrasi Dalam
Keadaan Teraniaya dan Pemajuan Persamaan Kesempatan dan Perlakuan
bagi Buruh Migran (No.143), Rekomendasi mengenai Migrasi untuk Bekerja
(No.86), Rekomendasi mengenai Buruh Migran (No.151), Konvensi mengenai
Kerja Wajib atau Kerja Paksa (No.159), dan Konvensi mengenai
Penghapusan Kerja Paksa (No.105),
Menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip yang termuat dalam
Konvensi menentang Diskriminasi dalam Pendidikan dari Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan
Bangsa-Bangsa,
Mengingat Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Derajat
Manusia, Deklarasi Kongres ke empat Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan, Aturan Berperilaku
Para Pejabat Penegak Hukum, dan Konvensi Mengenai Perbudakan,
Mengingat bahwa salah satu tujuan ILO, sebagaimana dicantumkan
dalam Konstitusinya, adalah melindungi kepentingan para buruh manakala
mereka dipekerjakan di Negara-nagara yang bukan Negaranya sendiri,
dengan mengingat keahlian dan pengalaman organisasi tersebut dalam halhal
yang berkenaan dengan buruh dan anggota keluarganya,
Mengakui pentingnya pekerjaan yang telah dilakukan sehubungan
dengan buruh migran dan anggota keluarganya dalam berbagai badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi Hak Asasi Manusia dan
Komisi untuk Pembangunan Sosial, dan dalam Organisasi Pertanian dan
Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
Organisasi Kesehatan Internasional (WHO), dan juga dalam organisasiorganisasi
Internasional lainnya.
Mengakui pula kemajuan yang telah dicapai oleh beberapa Negara
secara bilateral dan regional, menuju pada perlindungan hak buruh migran
dan anggota keluarganya, juga pada penting dan gunanya perjanjianperjanjian
bilateral dan multirateral dalam bidang ini.
Menyadari pentingnya dan luasnya masalah migrasi, yang melibatkan
jutaan manusia dan mempengaruhi sejumlah besar Negara-Negara dalam
masyarakat Internasional,
Mengetahui akan dampak arus buruh migran pada Negara-negara dan
bangsa-bangsa bersangkutan, dan menginginkan untuk menetapkan normanorma
yang dapat membantu harmonisasi perilaku Negara-negara tersebut,
melalui penerimaan prinsip-prinsip dasar mengenai perlakuan atas buruh
migran dan anggota keluarganya,
Mempertimbangkan situasi kerentanan yang seringkali dialami buruh
migran dan anggota keluarganya, antara lain pada ketidak-beradaannya di
Negara asal pada kesulitan-kesulitan yang mungkin mereka hadapi, yang
timbul karena keberadaan mereka di Negara tempat mereka bekerja,
Meyakini bahwa hak buruh migran dan anggota keluarganya belum
diakui secara memadai dimanapun juga, dan karenanya membutuhkan
perlindungan Internasional yang layak,
Mempertimbangkan adanya kenyataan bahwa migrasi acapkali
mengakibatkan masalah-masalah yang serius bagi anggota keluarga para
buruh migran dan juga bagi buruh migran itu sendiri, khususnya karena
tersebarnya keluarga tersebut,
Mengingat bahwa masalah-masalah kemanusiaan yang terlibat dalam
migrasi lebih serius dalam kasus migrasi yang tidak biasa, dan oleh
karenanya meyakini bahwa tindakan yang tepat harus didorong dalam
rangka mencegah dan menghapuskan gerakan-gerakan dan perdagangan
buruh migran secara gelap, dan sementara itu memastikan adanya
perlindungan atas hak mereka secara mendasar,
Menimbang bahwa para buruh yang tidak didokumentasikan atau yang
berada dalam situasi yang tidak biasa seringkali dipekerjakan dalam kondisi
kerja yang lebih buruk dibandingkan dengan buruh-buruh lain, dan bahwa
beberapa majikan berupaya mencari buruh-buruh semacam itu untuk
memperoleh keuntungan dalam persaingan yang tidak wajar,
Juga menimbang bahwa saluran untuk mempekerjakan buruh migran
yang berada dalam situasi yang tidak biasa, harus dikurangi agar hak yang
mendasar dari buruh migran lebih dihormati, dan lebih lanjut lagi, bahwa
memberikan seperangkat hak tambahan pada buruh migran dan anggota
keluarganya dalam situasi yang biasa, akan mendorong semua buruh migran
dan majikan untuk menghormati dan mematuhi hukum dan prosedur yang
ditetapkan oleh Negara-negara yang bersangkutan,
Meyakini adanya kebutuhan untuk menetapkan perlindungan
internasional pada hak seluruh buruh migran dan anggota keluarganya,
menegaskan kembali dan menetapkan norma-norma dasar dalam konvensi
yang menyeluruh yang dapat diterapkan secara universal,
Telah Menyetujui hal-hal sebagai berikut:
BAGIAN I
RUANG LINGKUP DAN DEFINISI
Pasal 1
1. Konvensi ini berlaku, kecuali jika ditentukan sebaliknya di sini, pada
semua buruh migran dan anggota keluarganya tanpa pembedaan
apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, atau
kepercayan, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis
atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan,
status perkawinan, status kelahiran atau status lainnya.
2. Konvensi ini akan berlaku selama seluruh proses buruh migran dan
anggota keluarganya, yang terdiri dari persiapan untuk migrasi,
pemberangkatan, transit dan seluruh masa tinggal dan pekerjaan yang
dibayar didalam Negara tempat bekerja, dan juga kembalinya ke
Negara asal atau Negara tempatnya bertempat tinggal.
Pasal 2
Untuk maksud Konvensi ini, maka :
1. Istilah “buruh migran” mengacu pada seseorang yang akan, tengah
atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu Negara di
mana ia bukan menjadi warganegara;
2. (a) Istilah “buruh frontir” mengacu pada buruh migran yang
mempertahankan kediamannya sehari-hari dalam Negara tetangga ke
tempat mana ia biasanya pulang setiap hari atau setidaknya sekali
seminggu;
(b) Istilah “buruh musiman” mengacu pada buruh migran yang
pekerjaannya tergantung pada kondisi musiman, dan dilakukan hanya
dalam sebagian waktu setiap tahun;
(c) Istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang
buruh migran yang dipekerjakan diatas kapal yang didaftarkan dalam
suatu Negara dimana ia bukan warga Negara;
(d) Istilah “buruh pada instalasi lepas pantai” mengacu pada buruh
migran yang dipekerjakan pada suatu instalasi lepas pantai yang
berada dibawah wilayah hukum suatu Negara dimana ia bukan warga
Negara;
(e) Istilah “buruh keliling” mengacu pada seorang buruh migran yang
harus bepergian ke Negara atau Negara-negara lain untuk waktu
singkat sehubungan dengan sifat pekerjaannya, sedang ia bertempat
tinggal sehari-hari disuatu Negara;
(f) Istilah “buruh proyek” mengacu pada seorang buruh migran yang
diterima kedalam suatu Negara tempatnya bekerja untuk jangka
waktu kerja tertentu semata-mata untuk proyek tertentu yang
dilaksanakan di Negara tersebut oleh majikannya;
(g) Istilah “buruh dengan pekerjaan tertentu” mengacu pada
pekerjaan migran yang:
i. Dikirim oleh majikannya untuk jangka waktu yang terbatas dan
tertentu ke suatu Negara tempatnya bekerja, untuk melakukan
tugas atau pekerjaan tertentu;
ii. Untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu melakukan
pekerjaan yang memerlukan keahlian profesional, komersial,
teknis, atau keahlian khusus yang tinggi lainnya; atau
iii. Untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu, atas
permintaan majikannya dalam Negara tempatnya bekerja,
untuk melakukan buruh yang bersifat sementara dan singkat;
dan yang diminta untuk meninggalkan Negara tempatnya
bekerja, baik pada saat berakirnya masa tinggalnya atau
sebelumnya, apa bila ia tidak lagi melakukan tugas atau
kewajiban tertentu yang di perintahkan kepadanya;
(h) Istilah “buruh mandiri’’mengacu pada buruh migran yang
melakukan; buruh yang dibayar yang bukan berada dibawah
perjanjian kerja, dan yang biasanya mencari nafkah melalui kegiatan
ini seorang diri atau bersama anggota-anggota keluarganya dan
mengacu pada buruh migran lainnya yang diakui sebagai buruh
mandiri menurut kentuan legislatif di negara tempatnya bekerja atau
menurut perjanjian bilateral dan multilateral
PASAL 3
Konvensi ini tidak berlaku pada:
(a) Orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh organisasi dan
badan-badan internasional, atau orang-orang yang dikirim atau
dipekerjakan oleh suatu Negara diluar wilayahnya untuk
menjalankan fungsi resmi, yang kedatangan dan statusnya diatur
oleh hukum internasional yang umum atau oleh konvensi
internasional khusus;
(b) Orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu Negara
atas nama Negara tersebut diluar wilayahnya, yang berpartisipasi
dalam program-program pengembangan dan program-program
kerjasama lainnya, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh
perjanjian dengan Negara tempatnya bekerja, dan sesuai dengan
perjanjian tersebut, tidak dianggap sebagai buruh migran;
(c) Orang-orang yang bertempat tinggal di Negara yang berbeda
dengan Negara asalnya sebagai penanam modal;
(d) Pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan, kecuali ketentuan
tentang hal ini dicantumkan dalam ketentuan perundang-undangan
nasional dari Negara yang bersangkutan, atau dalam instrumen
internasional yang berlaku bagi Negara peserta tersebut;
(e) Pelajar dan orang yang ikut pelatihan;
(f) Pelaut dan buruh pada instansi lepas pantai yang belum diterima
untuk bertempat tinggal dan melakukan pekerjaan yang dibayar di
Negara tempatnya bekerja.
Pasal 4
Untuk tujuan konvensi ini, istilah “anggota keluarga” mengacu pada orangorang
yang kawin dengan buruh migran atau mempunyai hubungan
dengannya, yang menurut hukum yang berlaku berakibat sama dengan
perkawinan, dan juga anak-anak mereka yang dibawah umur dan orangorang
lain yang menjadi tanggungan mereka yang dianggap sebagai anggota
keluarga menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, atau
menurut perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara-negara yang
bersangkutan.
Pasal 5
Untuk tujuan konvensi ini, buruh migran dan anggota keluarganya:
(a) Dianggap telah didokumentasikan atau berada dalam situasi yang
biasa apabila mereka diberi ijin masuk, bertempat tinggal dan
melakukan pekerjaan yang dibayar dalam negara tempatnya
bekerja, sesuai dengan hukum negara tersebut dan perjanjianperjanjian
internasional dimana negara tersebut menjadi pihak;
(b) Dianggap tidak didokumentasikan atau berada dalam situasi yang
tidak biasa apabila mereka tidak mematuhi persyaratanpersyaratan
yang diatur dalam sub-ayat (a) dari pasal ini.
Pasal 6
Untuk konvensi ini:
a. Istilah “Negara asal” berarti negara dimana orang yang bersangkutan
merupakan warga negara;
b. Istilah “Negara tempat bekerja” berarti negara dimana buruh migran
akan, tengah atau telah dipekerjakan dalam pekerjaan yang dibayar,
sebagaimana adanya;
c. Istilah “Negara transit” berarti negara yang dilalui oleh orang yang
bersangkutan dalam perjalanan ke negara tempatnya bekerja atau
dari negara tempatnya bekerja ke negara asal atau tempat tinggalnya
sehari-hari.
BAGIAN II
Non – Diskriminasi dalam kaitannya dengan hak
Pasal 7
Negara-negara peserta perjanjian, sesuai dengan instrumen-instrumen
international tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan
memastikan bahwa semua buruh migran dan anggota keluarganya dalam
wilayahnya atau yang tunduk pada yuridiksinya, agar memperoleh hak yang
diatur dalam konvensi ini tanpa pembedaan apapun seperti jenis kelamin,
ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau
lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia,
kedudukkan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau
status lainnya.
BAGIAN III
Hak Azasi bagi semua buruh migran
dan anggota keluarganya
Pasal 8
1. Pakerja migran dan anggota keluarganya harus bebas untuk
meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka. Hak ini
tidak boleh dibatasi kecuali sebagaimana ditentukan oleh hukum,
diperlukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum
(Order Public), Kesehatan dan moral umum, atau hak dan kebebasankebebasan
orang-orang lain, yang sesuai dengan hak lain yang diakui
dalam kovenan ini.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk
memasuki dan tinggal dinegara asalnya setiap waktu.
Pasal 9
Hak atas hidup dari buruh migran dan anggota keluarganya harus
dilindungi oleh hukum
Pasal 10
Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
Pasal 11
1. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
diperbudak atau diperhambakan.
2. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib;
3. Ayat 2 pasal ini tidak boleh mengecualikan kerja keras (hard labour)
sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan yang
berwenang, dinegara-negara yang memperkenankan dijatuhkannya
kerja keras sebagai suatu hukuman.
4. Untuk tujuan pasal ini, istilah “kerja paksa atau wajib” tidak
mencakup:
(a) Setiap pekerjaan atau jasa yang tidak disebutkan dalam ayat 3
pasal ini, yang biasanya diwajibkan pada orang yang ditahan
atas perintah yang sadar pengadilan, atau pada orang yang
tengah menjalani pembebasan bersyarat dari penahanan
tersebut;
(b) Setiap tindakan yang dituntut untuk dilakukan dalam keadaan
darurat atau bencana yang mengancam kehidupan atau
kesejahteraan masyarakat;
(c) Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan bagian dari
kewajiban-kewajiban umum asalkan pekerjaan itu juga
dibebankan pada warga negara dari negara yang bersangkutan.
Pasal 12
1. Setiap buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan
berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan
untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain, baik ditempat umum maupun secara pribadi.
2. Tidak seorang buruh migran dan angota keluarganya dapat dipaksa
sehingga terganggu kebebasannya, untuk menganut atau menetapkan
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang
diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau
moral masyarakat, atau hak dan kebebasan dasar orang lain.
4. Negara-negara peserta dalam kovenan ini berjanji untuk menghormati
kebebasan orang tua, yang setidaknya salah satu diantaranya adalah
buruh migran, dan dimana dimungkinkan, wali hukum yang sah, untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan keyakinan sendiri.
Pasal 13
1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk berpendapat
atau campur tangan.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan untuk
menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari,
menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas
dari pembatas-pembatas secara lisan, tertulis atau dalam bentuk
cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
3. Pelaksanaan hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini
menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab-tanggung
jawab khusus. Oleh karenanya hal ini dapat dikenai pembatasan
tertentu, akan tetapi hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan
sepanjang diperlukan;
a. Untuk menhghormati hak atau nama baik orang lain :
b. Untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum
negara-negara yang bersangkutan atau ketertiban umum (order
publik) atau kesehatan atau moral umum;
c. Untuk tujuan mencegah propaganda perang:
d. Untuk tujuan mencegah upaya yang mendorong kebencian
berdasarkan kebangsaan, ras atau keagamaan yang merupakan
penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan dan
tindak kekerasan.
Pasal 14
Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya yang dapat
secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah
pribadinya, keluarga, rumah atau hubungan surat-menyuratnya atau
komunikasi lain, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama
baiknya. Setiap buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas
perlindungan hukum terhadap campur tangan serangan seperti tersebut
diatas.
Pasal 15
Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
secara sewenang-wenang dihalangi untuk memiliki properti, baik yang
dimilikinya sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Apabila
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara tempatnya
bekerja, aset dari buruh migran dan anggota keluarganya disita baik
sebagian maupun seluruhnya, orang yang bersangkutan berhak untuk
memperoleh kompensasi yang wajar dan memadai.
Pasal 16
1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan dan
keamanan pribadi.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas perlindungan
yang efektif oleh Negara terhadap tindak kekerasan, kerugian fisik,
ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat publik
maupun perseorangan, kelompok ataupun lembaga.
3. Verifikasi oleh petugas penegak hukum mengenai identitas buruh
migran dan anggota keluarganya harus dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
4. Buruh migran dan anggota keluarganya, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara kolektif, tidak boleh menjadi sasaran penangkapan
atau penahan yang sewenang-wenang; mereka tidak boleh dirampas
kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
5. Buruh migran dan anggota keluarganya yang ditangkap wajib diberi
tahu pada saat penangkapan, mengenai alasan-alasan
penangkapannya dalam bahasa yang sedapat mungkin dapat mereka
fahami, dan harus sesegera mungkin diberi tahu mengenai tuduhan
yang dikenakan terhadapnya dalam bahasa yang mereka fahami.
6. Buruh migran dan anggota keluarganya yang ditangkap atau ditahan
berdasarkan tuduhan pidana, harus segera dihadapkan ke depan
hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk
menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak diadili dalam jangka
waktu yang wajar, atau dibebaskan. Tidak boleh merupakan suatu
ketentuan umum bahwa selama menunggu untuk diadili mereka harus
ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk
hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan, dan pada
pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
7. Apabila seorang buruh migran dan anggota keluarganya ditangkap
atau dimasukan kedalam penjara atau tahanan selama menunggu
untuk diadili, atau ditahan dalam bentuk lain, maka:
a. Konsuler atau pejabat diplomatik Negara asalnya atau Negara
tersebut, harus diberitahukan dengan segera mengenai
penangkapan atau penahanan tersebut beserta alasanalasannya,
apabila yang bersangkutan memintanya.
b. Orang yang bersangkutan harus mempunyai hak untuk
berkomunikasi dengan pejabat-pejabat yang disebut diatas.
Komunikasi dari orang tersebut kepada pejabat yang disebut
diatas harus segera disampaikan, dan Ia berhak untuk
menerima komunikasi yang dikirimkan oleh pejabat tersebut
dengan segera.
c. Orang yang bersangkutan harus segera diberitahu mengenai
hak ini dan hak yang berasal dari perjanjian yang relevan jika
ada, yang berlaku antara Negara-negara yang bersangkutan,
untuk berkorespondensi dan bertemu dengan pejabat diatas,
dan untuk mengatur pengacara dengan mereka.
8. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dirampas kebebasannya
dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan
didepan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan dapat dengan
segera menentukan keabsahan penahanan mereka, dan
memerintahkan pembebasan apabila penahanan tersebut ternyata
tidak sah menurut hukum. Dalam menghadiri acara tersebut, buruh
migran dan anggota keluarganya harus memperoleh bantuan seorang
penterjemah jika mereka tidak memahami bahasa yang dipergunakan,
kalau perlu tanpa membayar.
9. Buruh migran dan anggota keluarganya yang telah menjadi korban
penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat
ganti kerugian yang harus dilaksanakan.
Pasal 17
1. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dirampas kebebasannya
wajib diperlakukan secara manusiawi, dan dengan menghormati
martabat yang melekat pada diri manusia dan pada identitas budaya
mereka.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dituduh harus dipisahkan
dari orang yang dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai
dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana, kecuali dalam
keadaan-keadaan yang sangat khusus. Terdakwa dibawah umur harus
dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin dihadapkan
kesidang pengadilan.
3. Buruh migran dan anggota keluarganya yang ditahan dalam suatu
negara transit atau Negara tempatnya bekerja karena pelanggaran
terhadap ketentuan yang berkanaan dengan migrasi, harus sedapat
mungkin ditahan terpisah dari orang-orang yang sudah dijatuhi
hukuman atau orang-orang yang tengah menunggu persidangan.
4. Selama jangka waktu pemenjaraan yang dilaksanakan berdasarkan
keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman, pembinaan buruh
migran dan anggota keluarganya haruslah bertujuan untuk
memperbaiki dan melakukan rehabilitasi sosial. Terpidana anak-anak
harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan
usia dan status hukum mereka.
5. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dijatuhi hukuman berhak
atas peninjauan kembali terhadap keputusan atau hukumannya oleh
pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum.
6. Apabila buruh migran dan anggota keluarganya telah dijatuhi
hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan
sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta yang baru, atau
fakta yang baru saja ditemukan menunjukan secara meyakinkan
bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan, maka orang
yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut
harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa
tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu sepenuhnya atau
untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
7. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat diadili
atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan,
untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum
pidana dan hukum acara pidana di Negara yang bersangkutan.
Pasal 19
1. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana, karena melakukan atau
tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada
saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun
internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman
yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak
pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak
pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka Ia
harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
2. Pertimbangan kemanusiaan yang berkenaan dengan status buruh
migran, khususnya sehubungan dengan haknya untuk tinggal dan
bekerja, harus dipertimbangkan dalam menjatuhkan hukuman atas
tindak pidana yang dilakukan buruh migran dan anggota keluarganya.
Pasal 20
1. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
dipenjara semata-mata berdasarkan ketidak mampuannya untuk
memenuhi suatu kewajiban perjanjian.
2. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya yang dapat
dihalangi haknya atas surat ijin kerja atau bertempat tinggal, atau di
usir semata-mata berdasarkan ketidakmampuanya untuk memenuhi
suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian kerja, kecuali
pemenuhan kewajiban tersebut merupakan prasyarat bagi
dikeluarkannya ijin tersebut.
Pasal 21
Selain oleh pejabat publik yang diberi kewenangan oleh hukum,
perbuatan seseorang yang menghancurkan atau mencoba menghancurkan
dokumen identitas, dokumen yang memberi ijin masuk atau keluar, tempat
kediaman, atau tempat tinggal dalam wilayah nasional atau ijin kerja
merupakan tindakan melawan hukum. Penyitaan tanpa hak atas dokumendokumen
tersebut, tidak boleh dilakukan tanpa adanya bukti resmi yang
terperinci. Dalam hal apapun tidak di perkenankan untuk menghancurkan
paspor atau dokumen yang setara milik buruh migran dan anggota
keluarganya.
Pasal 22
1. Buruh migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran
upaya pengusiran atau pengeluaran kolektif. Setiap kasus pengusiran
harus diperiksa dan diputuskan satu persatu.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya hanya dapat dikeluarkan dari
wilayah suatu negara didasarkan atas suatu keputusan yang diambil
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan hukum.
3. Keputusan tersebut harus dikomunikasikan kepada mereka dalam
bahasa yang mereka pahami. Apabila tidak diwajibkan, maka atas
permintaan orang-orang tersebut keputusan itu harus
dikomunikasikan secara tertulis dan juga alasan-alasannya, kecuali
dalam keadaan keadaan yang luar biasa berdasarkan keamanan
nasional. Orang-orang yang bersangkutan harus diberi tahu mengenai
hak ini sebelum atau selambat-lambatnya pada saat keputusan itu
diambil.
4. Kecuali, apabila suatu keputusan akhir telah diucapkan oleh pejabat
pengadilan, orang-orang yang bersangkutan berhak untuk
menyampaikan alasan-alasan mengapa mereka harus tidak diusir, dan
untuk meminta kasusnya diminta kembali oleh pejabat yang
berwenang, kecuali alasan keamanan nasional menentukan
sebaliknya. Selama menunggu peninjauan kembali, orang-orang yang
bersangkutan berhak untuk meminta penundaan keputusan
pengusiran tersebut.
5. Apabila keputusan pengusiran yang telah dijalankan kemudian
dibatalkan, maka orang yang bersangkutan berhak untuk menuntut
kompensasi menurut hukum, dan keputusan yang pertama tidak boleh
dipergunakan untuk mencegahnya memasuki kembali negara yang
bersangkutan.
6. Dalam hal pengusiran, orang orang yang bersangkutan berhak atas
kesempatan yang layak sebelum atau sesudah keberangkatannya,
untuk menyelesaikannnya pembayaran gaji atau hak lain yang
menjadi haknya dan juga hutang-hutangnya.
7. Tanpa mengurangi pelaksanaan keputusan pengusiran, buruh migran
dan anggota keluarganya yang menjadi sasaran keputusan tersebut
dapat memohon untuk memasuki suatu negara yang bukan negara
asalnya.
8. Dalam hal pengusiran buruh migran dan anggota keluargannya, biaya
pengusiran tidak boleh dibebankan padanya. Orang-orang yang
bersangkutan dapat diminta untuk membayar biaya perjalanannya
sendiri.
9. Pengusiran dari negara tempat bekerja tidak boleh mengurangi hak
apapun yang telah diperoleh buruh migran dan anggota keluarganya
sesuai dengan hukum negara tersebut, termasuk hak untuk,
menerima gaji dan hak lain yang menjadi haknya.
Pasal 23
Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk memperoleh
upaya bagi perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari
Negara asalnya atau Negara yang mewakili kepentingan Negara tersebut,
apabila hak yang diakui dalam konvensi ini dilanggar. Khususnya dalam hal
pengusiran, orang yang bersangkutan harus diberitahu mengenai hak ini
dengan segera dan Pejabat dari Negara yang melakukan pengusiran harus
memfasilitasi pelaksanan hak tersebut.
Pasal 24
Setiap buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diakui
dimanapun sebagai pribadi dimuka hukum.
Pasal 25
1. Buruh migran dan anggota keluarganya harus mendapatkan perlakuan
yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diterapkan pada
warganegara dari Negara tempat bekerja dalam hal penggajian dan:
a. Kondisi-kondisi kerja lainnya, yakni uang lembur, jam kerja,
istirahat mingguan, liburan dengan gaji, keselamatan,
kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan kondisi-kondisi
apapun yang menurut hukum dan praktek nasional dicakup
dalam istilah ini;
b. Persyaratan kerja lainnya, yakni usia minimum untuk bekerja,
pembatasan pekerjaan rumah, dan hal-hal lain yang menurut
hukum dan praktek nasional dianggap sebagai persyaratan
kerja;
2. Penghapusan prinsip persamaan perlakuan yang dicantumkan dalam
ayat 1 dari pasal ini dari perjanjian kerja pribadi, merupakan tindakan
yang melanggar hukum;
3. Negara-negara peserta harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk memastikan bahwa buruh migran tidak dihalangi haknya yang
muncul dari prinsip ini atas alasan adanya pelanggaran dalam masa
tinggal atau buruh mereka. Khususnya, majikan tidak boleh
melepaskan diri dari kewajiban yang ada dalam perjanjian ataupun
membatasi kewajiban mereka dengan cara apapun dengan alasan
adanya pelanggaran semacam itu.
Pasal 26
1. Negara-negara peserta mengakui hak buruh migran dan anggota
keluarganya:
a. Untuk mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan dan
kegiatan-kegiatan serikat buruh dan perkumpulan lain yang
dibentuk menurut hukum, dengan pandangan untuk melindungi
kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan kepercayaan lainnya,
sesuai dengan peraturan dari organisasi yang bersangkutan.
b. Untuk secara bebas bergabung pada serikat buruh-buruh atau
perkumpulan-perkumpulan semacam itu sebagaimana telah
disebutkan, sesuai dengan peraturan organisasi yang
bersangkutan;
c. Untuk mencari bantuan dan sumbangan dari serikat buruh atau
perkumpulan apapun yang disebut diatas.
2. Pelaksanaan hak ini tidak boleh dibatasi kecuali menurut ketentuan
hukum, dan yang diperlukan dalam negara demokratis demi
kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan
hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Pasal 27
1. Berkenaan dengan keamanan nasional, buruh migran dan anggota
keluarganya berhak atas perlakuan yang sama di Negara tempatnya
bekerja dengan hak yang diberikan pada warga negara, selama
mereka memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh ketentuan
hukum yang berlaku di Negara asal dan Negara tempat bekerja
sewaktu-waktu dapat menetapkan ketentuan yang diperlukan untuk
menentukan tata cara permohonan norma tersebut.
2. Apabila ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak
memberikan tunjangan pada buruh migran dan anggota keluarganya,
Negara-negara yang bersangkutan harus mencari kemungkinan untuk
memberikan penggantian pada orang yang bersangkutan jumlah
sumbangan yang diberikan pada mereka sehubungan dengan
tunjangan itu berdasarkan perlakuan yang diberikan pada warga
negara yang berada pada situasi yang sama.
Pasal 28
Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk menerima
perawatan kesehatan yang sangat mendesak yang diperlukan untuk
mempertahankan hidup mereka, atau untuk mencegah kerugian yang tidak
dapat diperbaiki pada kesehatan mereka, berdasarkan perlakuan yang sama
dengan warga negara dari Negara yang bersangkutan. Perawatan medis
mendesak semacam itu, tidak boleh ditolak oleh Negara dengan alasan
adanya pelanggaran yang berkaitan dengan masa tinggal atau pekerjaan
mereka.
Pasal 29
Setiap anak buruh migran berhak atas suatu nama, atas
pendaftaran kelahiran, dan atas kewarganegaraan.
Pasal 30
Setiap anak buruh migran mempunyai hak dasar atas akses pada
pendidikan berdasarkan persamaan perlakuan dengan warga negara dari
Negara yang bersangkutan. Akses pada lembaga-lembaga pendidikan prasekolah
milik Negara tidak boleh ditolak atau dibatasi dengan alasan adanya
situasi pelanggaran berkenaan dengan masa tinggal atau pekerjaan salah
satu orangtua, atau berdasarkan alasan adanya pelanggaran masa tinggal
dalam Negara tempat bekerja.
Pasal 31
1. Negara-negara peserta harus menjamin penghormatan pada identitas
budaya buruh migran dan anggota keluarganya, dan tidak boleh
mencegah mereka untuk mempertahankan hubungan budaya dengan
Negara asal mereka.
2. Negara-negara peserta dapat mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk membantu dan mendorong upaya-upaya dalam hal ini.
Pasal 32
Pada saat berakhirnya masa tinggal mereka di Negara tempat
bekerja, buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk memindahkan
pendapatan dan tabungan mereka, dan juga harta pribadi mereka sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dari Negara yang
bersangkutan.
Pasal 33
1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diberitahu oleh
Negara asal, Negara tempat bekerja, atau Negara transit mengenai:
a. Hak mereka yang muncul dari konvensi ini;
b. Kondisi penerimaan mereka, hak dan kewajiban-kewajiban
mereka menurut hukum dan praktek di Negara yang
bersangkutan, dan hal-hal lain yang serupa yang
memungkinkan mereka untuk berperilaku sesuai dengan
ketentuan administratif dan ketentuan lain di Negara tersebut.
2. Negara-negara peserta harus mengambil semua langkah-langkah yang
mereka anggap tepat untuk menyebarluaskan informasi seperti diatas,
atau untuk memastikan bahwa informasi itu telah disebarluaskan oleh
majikan, serikat buruh dan badan-badan atau lembaga-lembaga
lainnya yang tepat. Tergantung pada kebutuhan, mereka dapat pula
bekerjasama dengan Negara-negara yang bersangkutan.
3. Informasi yang memadai seperti diatas harus diberikan atas
permintaan buruh migran dan anggota keluarganya dengan cumacuma,
dan sejauh mungkin dalam bahasa yang mereka fahami.
Pasal 34
Tidak satupun hal yang sama dalam Kovenan ini yang akan
mengakibatkan buruh migran dan anggota keluarganya terlepas dari
kewajiban untuk mematuhi hukum dan peraturan Negara transit dan Negara
tempat bekerja, atau kewajiban untuk menghormati identitas dan budaya
dari penduduk Negara-negara tersebut.
Pasal 35
Tidak satupun dari bagian konvensi ini yang dapat
diinterprestasikan sebagai mengakibatkan keteraturan situasi buruh migran
dan anggota keluarganya yang tidak didokumentasikan, atau yang berada
dalam suatu suasana yang tidak biasa dimaksudkan untuk memastikan
kondisi yang setara dan baik, untuk migrasi internasional yang dicantumkan
dalam bagian VI konvensi ini.
BAGIAN IV
HAK LAIN DARI BURUH MIGRAN DAN ANGGOTA
KELUARGANYA YANG DIDOKUMENTASIKAN ATAU
YANG BERADA DALAM SITUASI NORMAL
Pasal 36
Buruh migran dan anggota keluarganya yang didokumentasikan
atau berada dalam situasi yang umum dalam Negara tempat bekerja, berhak
atas hak yang dicantumkan dalam bagian ini dari konvensi ini, disamping hak
yang disebutkan dalam bagian III.
Pasal 37
Sebelum keberangkatannya atau selambat-lambatnya pada saat
diterimanya mereka di Negara tempat bekerja, buruh migran dan anggota
keluarganya berhak untuk diinformasikan secara penuh oleh Negara asal
atau Negara tempat bekerja, manapun yang berlaku, mengenai semua
kondisi yang berlaku pada saat mereka masuk, dan khususnya mengenai
masa tinggal mereka dan pekerjaan yang dibayar yang mereka lakukan,
beserta persyaratan yang harus mereka penuhi dalam Negara tempat
bekerja, dan juga pejabat yang harus mereka hubungi apabila ada
perubahan kondisi-kondisi tersebut.
Pasal 38
1. Negara tempat bekerja harus melakukan semua upaya untuk
mengijinkan buruh migran dan anggota keluarganya untuk berlibur
tanpa akibat pada izin menetap atau bekerjanya, manapun yang
terjadi. Dalam melakukan hal ini, Negara tempat bekerja harus
memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban-kewajiban
khusus buruh migran dan anggota keluarganya, khususnya di Negara
asal mereka.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diberitahu
sepenuhnya mengenai persyaratan perizinan seperti tersebut di atas.
Pasal 39
1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan untuk
bergerak diwilayah Negara tempatnya bekerja dan kebebasan untuk
memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.
2. Hak yang disebutkan dalam ayat 1 di atas tidak boleh dikenai
pembatasan apapun kecuali yang ditentukan oleh hukum, dan
diperlukan guna melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,
kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan orang
lain, dan yang sesuai dengan hak lain yang diakui dalam kovenan ini.
Pasal 40
1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk membentuk
perkumpulan dan serikat buruh dalam Negara tempatnya bekerja
untuk memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi, sosial,
budaya dan kepentingan mereka yang lain.
2. Pelaksanaan hak ini tidak boleh dibatasi kecuali oleh hal yang telah
ditentukan oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum,
atau perlindungan atas hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Pasal 41
1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk berpartisipasi
dalam masalah pemerintahan di Negara asalnya dan untuk memilih
dan dipilih pada pemilihan umum di Negara tersebut, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
2. Negara-negara yang bersangkutan harus memfasilitasi pelaksanaan
hak ini sebagaimana perlu dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan
mereka.
Pasal 42
1. Negara-negara peserta harus mempertimbangkan penetapan
prosedur-prosedur atau lembaga, baik di Negara asal maupun di
Negara tempat bekerja, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan,
aspirasi dan kewajiban-kewajiban khusus buruh migran dan anggota
keluarganya, dan harus merencanakan kemungkinan bagi buruh
migran dan anggota keluarganya untuk secara bebas memilih wakilwakil
mereka dalam lembaga-lembaga tersebut
2. Negara tempat bekerja harus memfasilitasi, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan nasional, konsultasi dan partisipasi buruh
migran dan anggota keluarganya dalam keputusan-keputusan yang
berkenaan dengan kehidupan dan penyelenggaraan masyarakat lokal.
3. Buruh migran dapat menikmati hak politik dalam Negara tempat
bekerja.
Pasal 43
1. Buruh migran berhak atas persamaan perlakuan sama dengan
warganegara dari Negara tempatnya bekerja sehubungan dengan:
a. Akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan pendidikan sesuai
dengan persyaratan penerimaan dan ketentuan lain dari
lembaga atau pelayanan tersebut;
b. Akses pada bimbingan pelatihan kejuruan dan pelayanan untuk
penempatan;
c. Akses pada pelatihan kejuruan dan fasilitas dan lembaga
pelatihan-kembali;
d. Akses pada perumahan, termasuk rencana perumahan sosial,
dan perlindungan terhadap eksploitasi dalam hal uang sewa;
e. Akses pada pelayanan sosial dan kesehatan, asalkan
persyaratan-persyaratan untuk ikut serta dalam rencanarencana
tersebut dipenuhi;
f. Akses pada perusahaan koperasi dan swakelola yang tidak
mengakibatkan perubahan dalam status migrasi mereka, dan
tunduk pada aturan dan ketentuan dari badan yang
bersangkutan;
g. Akses dan partisipasi pada kehidupan budaya;
2. Negara-negara peserta harus memajukan kondisi untuk memastikan
persamaan perlakuan yang efektif untuk memungkinkan buruh migran
menikmati hal yang disebutkan dalam ayat 1 pasal ini, apabila
persyaratan masa tinggal mereka sebagaimana diizinkan oleh Negara
tempatnya bekerja memenuhi persyaratan yang ditetapkan;
3. Negara tempat bekerja tidak boleh mencegah majikan buruh migran
untuk menyediakan perumahan atau fasilitas sosial dan budaya bagi
mereka. Tunduk pada pasal 70 konvensi ini, Negara tempat bekerja
dapat menetapkan bahwa pendirian fasilitas semacam ini tunduk pada
sejumlah persyaratan yang berlaku secara umum dalam negara
mengenai Instalasi;
Pasal 44
1. Negara-negara peserta bahwa keluarga merupakan satuan kelompok
masyarakat yang alamiah serta mendasar, dan berhak dilindungi
oleh masyarakat dan Negara, dan harus mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk memastikan perlindungan pada kesatuan keluarga
buruh migran.
2. Negara-negara harus mengambil langkah yang mereka anggap tepat
yang masuk dalam kewenangannya, untuk memfasilitasi penyatuan
kembali buruh migran dengan pasangan mereka atau orang-orang
yang mempunyai hubungan dengan buruh migran, yang menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai akibat
yang setara dengan perkawinan, dan juga dengan anak-anak mereka
yang belum menikah dan dibawah umur.
3. Negara-negara tempat bekerja, berdasarkan alasan-alasan
kemanusiaan, harus mempertimbangkan pemberian perlakuan yang
sama yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini pada anggotaanggota
keluarga lain dari buruh migran.
Pasal 45
1. Anggota-anggota keluarga buruh migran berhak untuk memperoleh
persamaan-persamaan perlakuan di Negara-negara tempat bekerja
sama dengan waraganegara di Negara tersebut dalam hal-hal:
a. Akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan pendidikan sesuai
dengan persyaratan penerimaan dan ketentuan lain dari
lembaga atau pelayanan tersebut;
b. Akses pada lembaga-lembaga bimbingan dan pelaksanaan
kejuruan;
c. Akses pada pelayanan sosial dan kesehatan, asalkan
persyaratan-persyaratan untuk ikut serta dalam rencanarencana
tersebut dipenuhi;
d. Akses dalam partisipasi pada kehidupan budaya.
2. Negara-negara peserta harus mengupayakan suatu kebijakan, jika
perlu dengan bekerjasama dengan Negara asal, yang ditujukan
untuk memfasilitasi integrasi anak-anak buruh migran dan sistem
sekolah lokal, khususnya dalam pengajaran mereka dalam bahasa
lokal;
3. Negara tempat bekerja harus berusaha untuk memfasilitasi
pengajaran bahasa ibu mereka dan budaya mereka pada anak-anak
buruh migran, dalam hal dan dalam hal ini Negara asal harus
bekerjasama apabila diperlukan.
4. Negara tempat bekerja dapat menyediakan rencana khusus untuk
pengajaran anak-anak buruh migran dalam bahasa ibu dan budaya
mereka, jika diperlukan dengan bekerjasama dengan Negara asal.
Pasal 46
Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk menikmati
kemudahan-kemudahan dalam bea dan pajak impor dan ekspor, berkenaan
dengan milik pribadi mereka dan juga peralatan yang diperlukan untuk
bekerja yang dibayar yang menyebabkan mereka diijinkan masuk kedalam
Negara tempat bekerja, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Negaranegara
yang bersangkutan dan juga perjanjian internasional yang relevan,
serta kewajiban Negara-negara tersebut yang muncul dari keikutsertaan
mereka dalam persatuan bea cukai dalam hal :
a. Pada saat keberangkatan mereka dari Negara asal atau dari
Negara tempatnya menetap sehari-hari;
b. Pada saat pertama kalinya mereka memasuki Negara
tempatnya bekerja;
c. Pada saat keberangkatan terakhir dari Negara tempatnya
bekerja;
d. Pada saat kembalinya mereka ke Negara asal atau Negara
tempatnya menetap sehari-hari.
Pasal 47
1. Buruh migran berhak untuk melakukan transfer atas pendapatan dan
tabungan mereka, khusus dana-dana yang diperlukan untuk
membiayai keluarga mereka, dari Negara tempatnya bekerja ke
Negara asal atau Negara lain. Transfer semacam ini harus dilakukan
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam ketentuan perundangundangan
yang berlaku di Negara-negara yang bersangkutan, dan
sesuai pula dengan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku.
2. Negara-negara yang bersangkutan harus mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk memfasilitasi transfer tersebut.
Pasal 48
1. Tanpa mengurangi perjanjian pajak ganda yang berlaku, buruh migran
dan anggota keluarganya dalam Negara tempatnya bekerja, dalam hal
yang berkenaan dengan pendapatan mereka berhak:
a. Untuk tidak dikenai pajak, bea, atau biaya-biaya dalam jenis
apapun yang lebih tinggi atau lebih membebani daripada yang
dikenakan pada warganegara dalam keadaan yang sama;
b. Berhak atas pengurangan atau pembebasan pajak dalam jenis
apapun atau pada kemudahan pajak yang berlaku pada
warganegara dalam keadaan yang sama, termasuk kemudahankemudahan
pajak bagi anggota keluarga mereka yang masih
dalam tanggungan.
2. Negara-negara peserta harus berusaha untuk menetapkan langkahlangkah
yang tepat untuk menghindari pengenaan pajak ganda
terhadap penghasilan atau tabungan buruh migran dan anggota
keluarganya.
Pasal 49
1. Apabila Negara tempat bekerja mengharuskan adanya ijin yang
terpisah bagi ijin tinggal dan ijin bekerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka Negara tersebut harus
mengeluarkan ijin tinggal bagi mereka buruh migran untuk jangka
waktu yang setidaknya sama dengan jangka waktu yang mereka
perlukan untuk menjalankan pekerjaan yang dibayar.
2. Buruh migran yang dibebaskan untuk memilih pekerjaan yang dibayar
di Negara bekerja, tidak boleh dianggap sebagai berada dalam kondisi
yang tidak biasa dan tidak boleh kehilangan ijin tinggal mereka
semata-mata berdasarkan kenyataan bahwa mereka menghentikan
kegiatan tersebut sebelum habisnya jangka waktu yang dicantumkan
dalam ijin kerja mereka atau ijin-ijin lain yang serupa.
3. Dalam rangka memperkenankan buruh migran yang disebut dalam
ayat 2 pasal ini untuk mempunyai waktu yang cukup untuk mencari
pekerjaan yang lain, ijin tinggal tidak boleh dicabut setidaknya untuk
jangka waktu yang setara dengan jangka waktu yang memungkinkan
mereka untuk mendapatkan tunjangan pengangguran.
Pasal 50
1. Dalam hal meninggalnya buruh migran atau bubarnya perkawinan,
Negara tampatnya bekerja harus mempertimbangkan tempat tinggal
bagi anggota-anggota keluarga buruh migran yang bertempat tinggal
di Negara tersebut berdasarkan keutuhan keluarga; Negara-negara
tempat bekerja harus memperhitungkan jangka waktu lamanya
mereka telah bertempat tinggal di Negara tersebut.
2. Anggota-anggota keluarga yang tidak diberi ijin tinggal seperti
tersebut diatas harus diberikan cukup waktu untuk menyelesaikan
urusan-urusan mereka di dalam Negara tempat bekerja tersebut
sebelum meninggalkannya.
3. Ketentuan yang dicantumkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini tidak
boleh ditafsirkan sehingga mempengaruhi hak untuk tempat tinggal
dan buruh yang diberikan pada anggota keluarga tersebut
berdasarkan peraturan perundanng-undangan yang berlaku di
Negara tempat bekerja atau perjanjian-perjanjian bilateral dan
multilateral yang berlaku pada Negara tersebut.
Pasal 51
Buruh migran yang tidak dibebaskan untuk memilih pekerjaan
dalam Negara tempatnya bekerja tidak boleh dianggap sebagai berada dalam
situasi yang tidak biasa, dan juga tidak boleh kehilangan ijin tinggal mereka,
semata-mata karena akhirnya pekerjaan mereka sebelum ijin kerja mereka
habis, kecuali apabila ijin tinggal secara tegas tergantung pada buruh
tertentu yang membuat mereka di perkenankan tinggal di Negara tersebut.
Buruh migran semacam ini, berhak untuk mencari alternatif pekerjaan untuk
berpartisipasi dalam rancangan-rancangan pekerjaan publik dan pelatihan
kembali selama waktu yang tersisa dari ijin kerja mereka dan tunduk pada
persyaratan dan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam ijin kerja
tersebut.
Pasal 52
1. Buruh migran dalam Negara tempat bekerja berhak untuk secara
bebas menentukan pekerjaan yang dibayar, sesuai dengan
pembatasan atau persyaratan dibawah ini.
2. Terhadap seorang buruh migran, Negara tempat bekerja dapat;
a. Membatasi akses pada sejumlah kategori pekerjaan fungsi,
pelayanan atau kegiatan tertentu apabila diperlukan demi
kepentingan Negara ini dan ditentukan dalam ketentuan
perundang-undangan nasional;
b. Membatasi kebebasan dalam memilih pekerjaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pengakuan
kualifikasi pekerjaan yang di peroleh di luar wilayah. Namun
demikian, Negara-negara peserta yang bersangkutan harus
berusaha untuk memberikan pengakuan atas kualifikasi
semacam itu.
3. Bagi buruh migran yang izin kerjanya dibatasi jangka waktunya,
Negara tempat bekerja dapat:
a. Memberikan persyaratan-persyaratan terhadap hak atas
kebebasan memilih pekerjaan, bahwa buruh migran telah
bertempat tinggal secara sah dalam wilayah tersebut dengan
tujuan untuk bekerja dalam dalam jangka waktu yang di
tetapkan oleh peraturan perundang-undangan nasional, yang
tidak boleh melebihi waktu dua tahun;
b. Membatasi akses buruh migran pada pekerjaan yang dibayar
sesuai dengan kebijakan pemberian prioritas pada warga
negaranya atau pada orang-orang yang diasimilasi pada mereka
untuk tujuan ini, atau perjanjian bilateral dan multilateral.
Pembatasan-pembatasan semacam ini tidak lagi berlaku pada
seorang migran yang telah bertempat tinggal secara sah dalam
wilayah tersebut dengan tujuan untuk melakukan pekerjaan,
dalam waktu yang di tentukan oleh peraturan perundangundangan
nasional, yang tidak boleh melebihi lima tahun.
4. Negara tempat bekerja harus menegaskan persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi agar buruh migran yang telah di perkenankan
untuk bekerja dapat bekerja atas namanya sendiri, harus pula
dipertimbangkan jangka waktu saat dimana buruh migran telah
bertempat tinggal di Negara tempat bekerja tersebut secara sah.
Pasal 53
1. Anggota-anggota keluarga buruh migran yang memiliki izin tinggal
atau izin masuk tanpa batas waktu, atau yang secara otomatis dapat
diperpanjang, harus diperkenankan untuk secara bebas memilih
pekerjaan yang dibayar dengan syarat-syarat yang sama dengan yang
berlaku bagi buruh migran sesuai dengan pasal 52 konvensi ini.
2. Berkenaan dengan anggota keluarga buruh migran yang tidak
diperkanankan untuk secara bebas memilih pekerjaan yang dibayar,
Negara-Negara peserta harus mempertimbangkan untuk memberikan
mereka prioritas untuk mendapat ijin memlakukan pekerjaan yang
dibayar daripada buruh-buruh yang meminta untuk masuk ke negara
tempat bekerja dan tunduk pada perjanjan-perjajian bilateral
Pasal 54
1. Tanpa mengurangi syarat-syarat ijin tinggal atau ijin kerja dan hak
yang di sebutkan dalam pasal 25 dan 27 konvensi ini, buruh migran
berhak untuk diperlakukan secara sama dengan warganegara dari
Negara tempat bekerja hal-hal:
a. Perlindungan terhadap pemecatan;
b. Tunjangan pengangguran;
c. Akses pada rencana buruh publik yang dimaksudkan untuk
memberantas pengangguran;
d. Akses pada buruh alternatif dalam hal hilangnya pekerjaan atau
berahkirnya pekerjaan lain dibayar, berdasarkan pasal 52
konvensi ini.
2. Apabila seorang buruh migran menyatakan bahwa syarat-syarat
perjanjian kerjanya telah dilanggar oleh majikannya, maka ia berhak
untuk mengajukan kasusnya kepada pejabat yang berwenang dari
Negara tempat bekerja, berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam
pasal 18 ayat 1 konvensi ini.
Pasal 55
Buruh migran yang telah diberi ijin untuk melakukan pekerjaan yang
dibayar, dan tunduk pada ketentuan yang berlaku pada ijin semacam itu,
berhak atas persamaan perlakuan sebagaimana warga negara dari negara
bekerja dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Pasal 56
Buruh migran dan anggota keluarganya yang disebut dalam bagian ini
konvensi ini tidak boleh diusir dari Negara tempat bekerja, kecuali
berdasarkan alasan-alasan yang dirumuskan dalam perundangan-undang
Nasional dari Negara tersebut, dan tunduk pada rambu-rambu hukum yang
dicantumkan dalam Bagian III.
BAGIAN V
KETENTUAN YANG BERLAKU BAGI GOLONGAN
TERTENTU BURUH MIGRAN DAN ANGGOTA
KELUARGANYA
Pasal 57
Golongan tertentu dari buruh migran dan anggota keluarganya yang
dirumuskan dalam bagian ini, dari kovenan ini yang didokumentasikan atau
berada dalam situasi yang biasa, harus menikmati yang dicantumkan dalam
bagian III, dan bagian IV kecuali yang telah diubah seperti di bawah ini.
Pasal 58
1. Buruh frontir, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2 (a)
kovenan ini, mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV
yang berlaku pada mereka oleh karena keberadaan dan buruh
mereka di wilayah Negara tempat bekerja, dengan memperhatian
bahwa mereka tidak bertempat tinggal sehari-hari di Negara
tersebut.
2. Negara tempat bekerja harus mempertimbangkan pemberian hak
pada buruh frontir untuk memilih dengan bebas buruh yang
menghasilkan uang setelah jangka waktu tertentu. Pemberian hak
tersebut tidak boleh mempengaruhi status mereka sebagai buruh
frontir.
Pasal 59
1. Buruh manusia, sebagai dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2(b)
konvensi ini, mempunyai hak yang dicantumkan jangka waktu yang
cukup berarti, kemungkinan dalam bagian IV yang berlaku pada
mereka karena keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah Negara
tempat bekerja, dan yang sesuai dengan status mereka di Negara
tersebut sebagai buruh musiman, dengan memperhatikan bahwa
mereka hanya berada di Negara tersebut pada waktu-waktu tertentu
di suatu tahun.
2. Dengan memperhatikan ayat 1 diatas, Negara-negara peserta harus
mempertimbangkan pemberian hak pada buruh musiman yang telah
bekerja di wilayahnya dalam untuk mengambil pekerjaan lain
danmemberikan mereka prioritas di bandingkan dengan buruh lain
yang meminta untuk masuk ke Negara tersebut, dengan tetap
tunduk pada perjanjian bilateral dan multilateral.
Pasal 60
Buruh keliling sebagaimana dicantumkan dalam pasal 2 ayat 2 (e)
konvenan ini harus mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV yang
diberikan pada mereka karena keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah
Negara tempat bekerja, dan sesuai dengan status mereka sebagai buruh
keliling di Negara tersebut.
Pasal 61
1. Buruh yang terikat proyek sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2
ayat 2 (f) konvensi ini dan anggota-anggota keluarganya, harus
mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV, kecuali
ketentuan yang ada dalam pasal 43 ayat 1 (b) dan (c), pasal43 ayat
(d) dalam hubungannya dengan rencana perumahan sosial, pasal 45
ayat 1(b) dan pasal 52 sampai dengan 55.
2. Apabila seorang buruh yang terikat proyek menyatakan bahwa
ketentuan dalam perjanjian kerjanya telah dilanggar oleh
majikannya, maka ia berhak untuk mengajukan hal ini ke hadapan
pejabat yang berwenang di Negara yang mempunyai yurisdiksi atas
majikan tersebut, berdasarkan ketentuan yang dirumuskan dalam
pasal 18 ayat 1 konvensi ini.
3. Negara-negara peserta, dengan mengingat perjanjian-perjanjian
bilateral dan multilateral yang berlaku bagi mereka, harus
mengusahakan agar buruh yang terikat proyek tetap dilindungi
secara memadai oleh sistem jaminan sosial di Negara asal mereka
atau di Negara tempat mereka tinggal sehari-hari selama bekerjanya
mereka diproyek tersebut. Negara-negara peserta yang
bersangkutan harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan
dengan tujuan untuk menghindari pengingkaran hak atau duplikasi
pembayaran dalam hal ini.
4. Tanpa mengurangi pasal 47 Kovenan ini dan perjanjian bilateral dan
multilateral yang berlaku, Negara-negara peserta harus
memperkanankan pembayaran pendapatan para buruh yang terikat
proyek dalam Negara asal mereka atau Negara tempat mereka
tinggal sehari-hari.
Pasal 62
1. Buruh untuk pekerjaan tertentu yang dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2
(g) konvensi ini, harus memepunyai hak yang dirumuskan dalam
bagian IV, kecuali ketentuan yang ada dalam pasal 43 ayat 1 (b) dan
(c), Pasal 43 ayat (d) dalam hubungannya dengan rencana perumahan
sosial, Pasal 45 ayat 1 (b) dan Pasal 52 dan Pasal 54 ayat 1 (d).
2. Anggota-anggota keluarga buruh untuk pekerjaan tertentu mempunyai
hak yang berhubungan dengan anggota-anggota keluarga buruh
migran sebagaimana diatur dalam bagian IV konvensi ini, kecuali
ketentuan dalam Pasal 53.
Pasal 63
1. Buruh mandiri sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 (h)
Konvensi ini, mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV,
kecuali hak yang secara khusus berlaku pada buruh yang mempunyai
perjanjian kerja.
2. Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 52 dan 79 Konvensi ini,
berhentinya kegiatan ekonomi dari buruh mandiri tidak boleh
berakibat dicabutnya izin tinggal mereka ataupun izin melakukan
pekerjaan yang dibayar bagi mereka ataupun anggota-anggota
keluarganya di Negara tempat bekerja, kecuali apabila izin tersebut
ditegaskan tergantung pada pekerjaan tertentu yang menyebabkan
mereka boleh memasuki Negara tersebut.
BAGIAN VI
MEMAJUKAN KONDISI YANG BAIK, SETARA,
MANUSIAWI DAN SAH SEHUBUNGAN DENGAN
MIGRASI INTERNASIONAL DARI BURUH DAN
ANGGOTA-ANGGOTA KELUARGANYA
Pasal 64
1. Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 79 Konvensi ini, Negara-negara
peserta yang bersangkutan harus berkonsultasi dan bekerjasama
dengan pemikiran untuk meningkatkan kondisi yang baik, setara dan
manusiawi dalam kaitannya dengan migrasi internasional dari buruh
dan anggota-anggota keluarganya.
2. Dalam hal ini harus perhatian yang sungguh-sungguh bukan hanya
diberikan pada kebutuhan dan sumber-sumber buruh, akan tetapi juga
pada kebutuhan sosial, ekonomi, budaya dan kebutuhan-kebutuhan
lain dari buruh migran dan anggota keluarganya yang terkait, dan juga
akibat-akibat migrasi semacam itu pada masyarakat yang
bersangkutan.
Pasal 65
1. Negara-negara peserta harus menyediakan badan-badan yang layak
untuk menangani masalah-masalah yang bersangkutan dengan
migrasi internasional buruh dan anggota keluarganya. Fungsi badanbadan
ini adalah, antara lain:
a. Merumuskan dan menerapkan kebijakan mengenai migrasi
semacam ini;
b. Bertukar informasi, berkonsultasi dan bekerjasama dengan pejabat
yang berwenang dari Negara-negara peserta lainnya yang terlibat
dalam migrasi semacam ini;
c. Memberikan informasi yang tepat, khususnya pada majikan, buruh
dan organisasi mereka mengenai kebijakan, hukum dan peraturan
berkenaan dengan migrasi dan pekerjaan, mengenai perjanjian
yang telah dibuat dengan Negara-negara lain mengenai migrasi
dan hal-hal lain yang relevan.
d. Memberikan informasi dan bantuan yang tepat pada buruh migran
dan anggota keluarganya mengenai persyaratan perizinan dan
formalitas serta pengaturan mengenai pemberangkatan,
perjalanan, kedatangan, bertempat tinggal, pekerjaan yang
dibayar, keluar dan masuk, dan juga mengenai kondisi-kondisi
kerja dan kehidupan di Negara tempat bekerja dan mengenai bea,
nilai tukar uang, pajak dan hukum dan peraturan lain yang relevan.
2. Negara-negara peserta harus memfasilitasi sebagaimana dibutuhkan,
penyediaan konsuler yang memadai dan badan-badan lain yang perlu
untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan kebutuhan lain dari
buruh migran dan anggota keluarganya.
Pasal 66
1. Tunduk pada ayat 2 pasal ini, hak untuk melakukan kegiatan untuk
merekrut buruh-buruh dari Negara lain untuk bekerja harus dibatasi
pada:
a. Pelayanan umum atau badan-badan di Negara tempat
dilakukannya kegiatan tersebut;
b. Pelayanan umum atau badan-badan di Negara tempat bekerja
berdasarkan perjanjian antara Negara-negara yang
bersangkutan;
c. Badan-badan, calon-calon majikan atau orang-orang yang
bertindak atas nama mereka juga dapat diizinkan untuk
melakukan kegiatan diatas, asalkan ada izin, persetujuan dan
pengawasan oleh pejabat publik dari Negara-negara peserta
yang bersangkutan yang dapat ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan praktek di Negara-negara
tersebut.
Pasal 67
1. Negara-negara peserta yang bersangkutan harus bekerjasama
sebagaimana diperlukan dalam menetapkan langkah-langkah
mengenai kepulangan buruh migran dan anggota keluarganya ke
Negara asal apabila mereka memutuskan untuk pulang, atau izin
tinggal atau izin kerja mereka telah habis waktunya, atau manakala
mereka berada dalam Negara tempat bekerja dalam situasi yang tidak
biasa.
2. Mengenai buruh migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang
biasa, Negara-negara peserta yang bersangkutan harus bekerjasama
sebagaimana diperlukan, berdasarkan aturan yang disepakati bersama
antar negara-negara tersebut, dengan tujuan memajukan kondisi
ekonomi bagi permukiman kembali, dan untuk memfasilitasi
reintegrasi sosial dan budaya mereka secara berkesinambungan di
Negara asal.
Pasal 68
1. Negara-negara peserta, termasuk negara transit, harus bekerjasama
dengan maksud untuk mencegah dan menghapuskan gerakan-gerakan
dan tindakan memperkerjakan buruh migran secara ilegal atau gelap
dalam situasi yang tidak biasa. Langkah-langkah yang harus diambil
untuk maksud ini dalam yurisdiksi setiap Negara yang bersangkutan
harus mencakup:
a. Langkah yang tepat untuk menentang penyebarluasan informasi
yang menyesatkan mengenai emigrasi dan imigrasi;
b. Langkah-langkah untuk mendeteksi dan menghapuskan
gerakan-gerakan yang gelap dan ilegal dari buruh migran dan
anggota keluarganya, dan menjatuhkan sanksi yang efektif
pada orang-orang, kelompok-kelompok atau perkumpulan yang
mengatur, melaksanakan, atau membantu merencanakan atau
melaksanakan gerakan-gerakan itu;
c. Langkah-langkah untuk menjatuhkan sanksi yang efektif pada
orang-orang, kelompok atau perkumpulan yang menggunakan
tindak kekerasan, ancaman atau intimidasi terhadap buruh
migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang tidak
biasa;
2. Negara tempat bekerja harus mengambil langkah-langkah yang layak
dan efektif untuk menghapuskan di perkerjakannya buruh migran
dalam situasi yang tidak biasa di wilayah mereka, termasuk jika perlu,
penjatuhan sanksi pada majikan mereka. Hak buruh migran vis-à-vis
majikan mereka yang muncul dari pekerjaan tersebut tidak boleh
dirugikan oleh langkah-langkah ini.
Pasal 69
1. Apabila di Negaranya terdapat buruh migran dan anggota keluarganya
dalam situasi yang tidak biasa, Negara-negara peserta harus
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa
situasi demikian tidak berlangsung terus.
2. Apabila Negara-negara peserta yang bersangkutan tengah
mempertimbangkan kemungkinan mengatur situasi dari orang-orang
tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan nasional dan
perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku, maka
harus diperhatikan sungguh-sungguh situasi masuknya mereka ke
dalam Negara tersebut, lamanya mereka tinggal di Negara tempat
bekerja, dan pertimbangan-pertimbangan lain, khususnya yang
berkenaan dengan situasi keluarga mereka.
Pasal 70
Negara-negara peserta harus mengambil langkah-langkah yang tidak
lebih buruk daripada yang diterapkan pada warga negara untuk memastikan
bahwa kondisi kerja dan kehidupan buruh migran dan anggota keluarganya,
dalam situasi yang biasa sesuai dengan standar kebugaran, keselamatan,
kesehatan dan prinsip-prinsip martabat manusia.
Pasal 71
1. Negara-negara peserta harus memfasilitasi, dimana perlu,
pemulangan jenazah buruh migran dan anggota keluarganya ke
Negara asal.
2. Berkenaan dengan masalah kompensasi yang berhubungan dengan
meninggalnya seorang buruh migran dan anggota keluarganya,
Negara-negara peserta harus memberikan bantuan pada orang-orang
yang bersangkutan dengan tujuan untuk menyelesaikan segera
masalah-masalah tersebut. Penyelesaian masalah ini harus
dilaksanakan berdasarkan hukum nasional yang berlaku sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini dan perjanjianperjanjian
bilateral dan multilateral.
BAGIAN VII
PENERAPAN KONVENSI
Pasal 72
1.
a. Untuk tujuan meninjau penerapan Konvensi ini, harus dibentuk
suatu komite untuk Perlindungan hak semua buruh migran dan
anggota keluarganya (selanjutnya disebut “Komite”).
b. Komite ini harus terdiri dari sepuluh orang pakar pada saat
berlakunya Konvensi ini, dan empat belas orang pakar setelah
berlakunya Konvensi bagi Negara peserta yang ke empat puluh
satu, yaitu pakar yang memiliki moral yang tinggi, tidak
memihak dan diakui kemampuannya dalam bidang yang
dicakup oleh Konvensi ini;
2
a. Anggota-anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan
suara secara rahasia oleh Negara-negara peserta dari daftardaftar
orang-orang dicalonkan oleh Negara-negara peserta,
perhatian yang besar harus diberikan pada Negara asal dan
Negara tempat bekerja, dan pada perwakilan sistem-sistem
hukum yang utama. Setiap Negara peserta dapat mencalonkan
lebih dari satu orang diantara warganegaranya;
b. Anggota-anggota harus dipilih dan bertugas dalam kapasitas
pribadinya.
3. Pemilihan pertama akan diselenggarakan tidak lebih dari enam bulan
setelah tanggal berlakunya kovenan ini, dan pemilihan-pemilihan
berikutnya dilakukan setiap tahun kedua. Sekurang-kurangnya empat
bulan sebelum tanggal setiap pemilihan setiap Komite, Sekretaris
Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa akan mengirimkan undangan
tertulis kepada Negara-negara peserta dalam Kovenan ini untuk
menyampaikan calon mereka bagi Komite, dalam waktu dua bulan.
Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan
daftar nama semua orang yang dicalonkan berdasarkan abjad, dengan
menyebutkan Negara peserta yang mencalonkan mereka, dan
menyampaikan daftar tersebut pada Negara-negara peserta dalam
Kovenan ini, tidak lebih dari satu bulan sebelum tanggal pemilihan
yang termaksud, bersama dengan riwayat hidup orang-orang yang
dicalonkan.
4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang Negaranegara
peserta dalam Kovenan ini yang diselenggarakan oleh
Sekretaris Jendral di Markas Besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada persidangan tersebut, yang setidaknya dihadiri oleh dua pertiga
Negara-negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan untuk menjadi
anggota Komite haruslah calon-calon yang memperoleh suara
terbanyak dan merupakan mayoritas mutlak dari suara wakil-wakil
Negara peserta yang hadir dan memberikan suara.
5.
a. Anggota-anggota Komite bertugas untuk masa jabatan empat
tahun. Namun demikian, masa jabatan untuk lima anggota yang
terpilih pada pemilihan pertama akan berakhir setelah dua
tahun; segera setelah pemilihan pertama, nama-nama kelima
anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua persidangan
Negara-negara peserta.
b. Pemilihan empat anggota tambahan Komite akan diadakan
sesuai dengan ketentuan ayat 2,3,dan 4 pasal ini, setelah
berlakunya Konvensi ini bagi Negara pihak yang ke empat puluh
satu. Masa kerja dua dari anggota tambahan yang dipilih untuk
kesempatan ini akan berakhir pada akhir tahun yang kedua;
nama-nama anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua
persidangan Negara-negara peserta;
c. Anggota Komite dapat dipilih kembali apabila dicalonkan
kembali.
6. Apabila seorang anggota Komite meninggal dunia atau mengundurkan
diri atau menyatakan atas alasan lainnya apapun bahwa ia tidak lagi
dapat menjalankan kewajiban Komite, Negara peserta yang
mencalonkan pakar tersebut harus menunjukan pakar lain dari antara
warga negaranya untuk sisa waktu jabatan tersebut. Pengangkatan
baru ini harus memperoleh persetujuan dari Komite.
7. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan
staf dan fasilitas yang dibutuhkan agar Komite dapat melaksanakan
fungsinya secara efektif.
8. Anggota-anggota Komite memperoleh gaji dari sumber-sumber
Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan syarat dan kondisi yang
diputuskan oleh Majelis Umum.
9. Anggota-anggota Komite berhak atas fasilitas, hak khusus dan
kekebalan sebagai pakar dalam misi Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagaimana ditetapkan dalam seksi-seksi yang relevan dalam
konvensi Hak Khusus dan Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 73
1. Negara-negara peserta berjanji untuk menyerahkan laporan mengenai
upaya-upaya legislatif, yudikatif, administratif dan upaya-upaya lain
yang telah mereka lakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam
Konvensi ini, kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk ditelaah Komite:
a. Dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Kovenan ini bagi
Negara peserta yang bersangkutan;
b. Setelah itu, setiap lima tahun dan manakala Komite
memintanya;
2. Laporan yang disiapkan menurut pasal ini harus menyebutkan faktorfaktor
dan kesulitan-kesuliatan,apabila ada, yang mempengaruhi
penerapan Kovenan ini, dan harus mencakup informasi mengenai
karakteristik arus migrasi yang melibatkan Negara peserta tersebut.
3. Komite harus menetapkan pedoman lebih lanjut yang berlaku
terhadap isi dari laporan tersebut.
4. Negara-negara peserta harus mengupayakan agar laporan-laporan
mereka dapat diperoleh secara luas di Negara mereka sendiri.
Pasal 74
1. Komite harus memeriksa laporan-laporan yang disampaikan oleh
setiap Negara peserta dan disampaikan oleh setiap negara peserta
dasn menyampaikan komentar-komentar yang dianggapnya perlu
pada negara peserta yang bersangkutan. Negara peserta ini dapat
menyampaikan pada komite pandangan-pandangan pada komentar
yang diberikan oleh komite sesuai dengan pasal ini. Komite dapat
meminta informasi tambahan dari negara-negara peserta manakala
tengah mempertimbangkan laporan-laporan tersebut.
2. Sekretaris jendral Perserikatan Bangsa Bangsa dalam waktu yang
tepat sebelum membuka setiap persidangan komite, harus
menyampaikan salinan laporan yang dibuat oleh negara negara
peserta yang bersangkutan dan informasi yang relevan dengan
penelaahan laporan ini, kepada direktur jendral organisasi buruh
international, untuk memungkinkan organisasi membantu komite
dengan kepakaran yang dapat mereka berikan, dalam hal-hal yang
ditangani dengan konvensi ini, yang masuk dalam ruang lingkup
kewenangan organisasi buruh international. Komite dalam
pembahasannya harus mempertimbangkan komentar dan bahanbahan
yang diberikan oleh organisasi tersebut.
3. Sekretaris jendral Perserikatan Bangsa Bangsa juga dapat
menyampaikan salinan salinan atau bagian dari laporan ini, setelah
berkonsultasi dengan komite, kepada badan-badan khusus lainnya dan
kepada organisasi-organisasi antar negara.
4. Komite dapat mengundang badan badan dan organ khusus
perserikatan bangsa bangsa dan orgabnisasi organisasi antar negara
serta badan badan lain yang terkait, untuk menyampaikan informasi
tertulis mengenai hal yang ditangani konvensi ini yang masukl dalamn
ruang lingkup kegiatan mereka, untuk diperhartikan komite.
5. Organisasi buruh international harus diundang komite untuk menunjuk
perwakilannya untyuk berpartisipasi dalam persidangan persidangan
komite, dalam kapasitas konsultatif.
6. Komite dapat mengundang perwakilan perwakilan badan badan dan
organ khusus perserikatan bangsa bangsa dan organisasi organisasi
antar negara, untuk hadir dan didengarkan dalam persidangannya,
manakala masalah yang menjadi ruang lingkup mereka tengah
dibahas.
7. Komite harus menyampaikan laporan tahunan pada majelis umum
perserikatan bangsa bangsa mengenai penerapan konvensi ini, yang
berisi pertimbangan dan rekomendasinya sendirian berdaasarkan,
khususnya, pada pemeriksaan laporan laporan dan pengamatan yang
disampaikan oleh negara negara peserta
8. Sekretaris jendral perserikatan bangsa bangsa harus menyampaikan
laporan tahunan dari komite pada negara-negara peserta pada
konvensi ini, dewan ekonomi dan sosial, komisi hak azasi manusia
perserikatan bangsa bangsa, direktur jendral organisasi buruh
international dan organisasi terkait lainnya.
Pasal 75
1. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri.
2. Komite memilih pejabat pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun.
3. Komite biasanya bersidang setiap tahun.
4. Persidangan persidangan komite umumnya diselenggarakan di markas
besar perserikatan bangsa bangsa
Pasal 76
1. Suatu negara peserta dalam kovenan ini sewaktu-waktu dapat
menyatakan, berdasarkan pasal ini, bahwa ia mengakui kewenangan
komite untuk menerima dan membahas komunokasi yang
berhubungan dengan tuduhan satu negara peserta yang menyatakan
bahwa negara peserta lainnya tidak memenuhi kewajibannya
berdasarkan kovenan ini. Komunikasi yang dimaksud dalam pasal ini
hanya dapat diterima dan dibahas apabila disampaikan oleh negara
peserta yang telah menyatakan bahwa dirinya tunduk pada
kewenangan komite. Tidak satupun komunikasi akan diterima oleh
komite, apabila hal tersebut berhubungan dengan negara peserta
yang belum membuat pernyataan. Komunikasi yang diterima
berdasarkan pasal ini akan ditangani sesuai dengan prosedur sebagai
berikut :
a. Apabila Negara peserta dalam Kovenan ini beranggapan bahwa
negara peserta lain tidak melaksanakan ketentuan ketentuan
kovenan ini, ia dapat secara tertulis meminta perhatuian
tentang hal ini kepada negara peserta yang berkepentingan.
Negara peserta juga dapat memberitahukan komite mengenai
masalah ini. Dalam waktu tiga bulan setelah komunikasi, negara
yang menerima harus menyampaikan keterangan atau
pernyataan tertulis lainnya kepada negara pengirim, yang
menjelaskan masalah tersebut penjelasan mana harus
mencakup, sepanjang dimungkinkan dan sesuai, rujukan pada
prosedur domestik dan upaya penyelesaian yang telah dan akan
ditempuh, ataui yang tersedia tentang masalah tersebut.
b. Apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara
memuaskan bagi kedua negara peserta dalam jangka weaktu
enam bulan setelah negara penerima menerima komunikasi
awal, maka masing-masing berhak untuk mengajukan masalah
itu tersebut kepada komite, dengan memberitahukannya
kepada komite dan negara peserta lainnya.
c. Komite hanya akan menangani masalah yang diajukan
kepadanya setelah ia memastikan bahwa semua penyelesaian
domestik yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah
ini, sesuai dengan asas-asas hukum yang internasional yang
diakui. Ketentua ini tidak berlaku apabila menurut pandangan
Komite pelaksanaan upaya penyelesaian telah diulur-ulur secara
tidak wajar.
d. Dengan tetap tunduk pada ayat (c) pasal ini, Komite harus
menyediakan jasa-jasa baiknya pada negara-negara peserta
yang berkepentingan dengan tujuan untuk mendorong
penyelesaian yang bersahabat mengenai masalah ini
berdasarkan penghormatan pada kewajiban-kewajiban yang
dicantumkan dalam konvensi ini;
e. Komite harus menyelenggarakan sidang tertutup ketika
memeriksa komunikasi-komunikasi berdasarkan pasal ini.
f. Dalam setiap masalah yang diajukan padanya sesuai dengan
ayat (b), Komite dapat meminta Negara peserta yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), untuk
memberikan alasan yang relevan.
g. Negara-negara peserta yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam sub ayat (b), berhak untuk diwakili apabila
masalahnya dibahas di Komite, dan untuk menyampaikan hal
tersebut baik secara tertulis maupun lisan ;
h. Dalam waktu dua belas bulan setelah tanggal diterimanya
pemberitahuan berdasarkan sub ayat (b) pasal ini, Komite harus
menyampaikan laporan sebagai berikut:
i) Apabila penyelesaian telah dicapai sesuai dengan
ketentuan dalam sub ayat (d), maka Komite harus
membatasi laporannya pada suatu keterangan singkat
tentang fakta-faktanya dan penyelesaian yang telah
dicapai
ii) Apabila suatu penyelesaian yang diatur dalam sub ayat
(d) tidak tercapai, maka Komite dalam laporannya harus
memasukkan fakta-fakta yang relevan mengenai masalah
antara Negara-negara peserta yang bersangkutan
Penyampaian oleh Negara-negara peserta yang
bersangkutan secara tertulis dan yang direkam (apabila
diajukan secara lisan) harus dilampirkan pada laporan
tersebut. Komite juga dapat mengkomunikasikan hanya
pada Negara-negara peserta yang bersangkutan,
Pandangan-pandangan yang dianggapnya relevan tentang
masalah ini diantara mereka.
Dalam setiap hal, laporan tersebut harus dikomunikasikan pada
negara-negara pesert yang berkepentingan.
2. Ketentuan ketentuan dalam pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh
negara peserta dalam kovenan ini telah membuat deklarasi
berdasarkan ayat 1 dari pasal ini, Pernyataan tersebut harus
diserahkan Negara peserta untuk disimpan Sekretaris Jendral
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan
salinannya kepada Negara peserta lainnya. Suatu pernyataan dapat
ditarik setiap waktu dengan memberitahukan Sekretaris Jendral.
Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap
masalah yang menjadi isu komunikasi yang telah disampaikan
berdasarkan Pasal ini; tidak ada satupun komunikasi lanjutan dari
Negara peserta yang dapat diterima setelah pemberitahuan penarikan
pernyataan diterima oleh Sekretaris Jendral, kecuali apabila Negara
peserta yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru,
Pasal 77
1. Suatu Negara peserta pada Konvensi ini pada setiap waktu dapat
menyatakan bahwa ia mengakui kewenangan Komite untuk menerima
dan membahas komunikasi dari atau atas nama perseorangan yang
berada dibawah yuridiksinya yang menyatakan bahwa hak orang
tersebut yang ditetapkan dalam Konvensi ini telah dilanggar oleh
Negara peserta. Tidak satupun komunikasi akan diterima Komite
apabila berkenaan dengan suatu Negara peserta yang belum membuat
deklarasi semacam itu.
2. Komite harus menolak komunikasi menurut pasal ini apabila
komunikasi tersebut tanpa nama, atau apabila Komite
menganggapnya merupakan penyalahgunaan hak untuk
menyampaikan komunikasi, atau bila tidak sesuai dengan ketentuanketentuan
Konvensi ini.
3. Komite tidak akan mempertimbangkan komunikasi dari perorangan
berdasarkan pasal ini, kecuali telah dipastikan bahwa:
a. masalah yang sama, belum atau tidak sedang diperiksa
menurut prosedur penyelidikan atau penyelesaian internasional
lainnya;
b. orang tersebut telah menggunakan seluruh upaya penyelesaian
domestik yang ada; hal ini tidak berlaku apabila menurut
pandangan Komite permohonan untuk upaya pemulihan
tersebut telah ditunda-tunda secara tidak wajar atau tidak akan
memberikan penyelesaian yang efektif pada orang tersebut.
4. Dengan tetap tunduk pada ayat 2 pasal ini, Komite harus
menyampaikan komunikasi apapun yang diajukan berdasarkan pasal
ini untuk diperhatikan oleh Negara peserta pada Konvensi ini yang
telah membuat deklarasi menurut ayat 1, yang dituduh telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan konvensi. Dalam waktu
enam bulan, Negara penerima harus menyampaikan kepada Komite
suatu penjelasan tertulis atau pernyataan yang menjelaskan masalah
tersebut dan upaya-upaya penyelesaian, jika ada, yang telah diambil
oleh Negara tersebut.
5. Komite harus mempertimbangkan komunikasi yang diterimanya
berdasarkan pasal 1 ini, berkenaan dengan semua informasi yang
disediakan oleh atau atas nama perorangan dan oleh Negara peserta
yang bersangkutan.
6. Komite harus menyelenggarakan persidangan tertutup manakala
memeriksa komunikasi menurut pasal ini.
7. Komite harus menyampaikan pandangan-pandangannya pada Negara
peserta yang bersangkutan dan pada orang yang bersangkutan.
8. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh
Negara peserta dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi
berdasarkan ayat 1 dari pasal ini. Pernyataan tersebut akan
diserahkan Negara peserta untuk disimpan Sekretaris Jendral
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan
salinannya kepada Negara peserta lainnya. Suatu pernyataan dapat
ditarik setiap waktu dengan memberitahukan Sekretaris Jendral.
Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap
masalah yang menjadi isu komunikasi yang telah disampaikan
berdasarkan pasal ini; Tidak ada satupun komunikasi lanjutan dari
Negara peserta yang dapat diterima setelah pemberitahuan penarikan
pernyataan diterima oleh Sekretaris Jendral, kecuali apabila Negara
peserta yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru.
Pasal 78
Ketentuan dalam Pasal 76 Konvensi ini harus diterapkan tanpa
mempengaruhi prosedur penyelesaian sengketa atau pengaduan dalam
bidang ayang dicakup oleh Konvensi ini, yang ditetapkan dalam instrumen
yang menyertainya atau dalam konvensi yang ditetapkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus, dan tidak boleh mencegah Negaranegara
peserta untuk mengambil prosedur lain untuk penyelesaian sengketa,
sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku diantara mereka.
BAGIAN VIII
KETENTUAN UMUM
Pasal 79
Tidak satupun isi dari konvensi ini akan mempengaruhi hak setiap
warganegara peserta untuk menetapkan kriteria mengenai buruh migran dan
anggota keluarganya ke dalam Negaranya. Mengenai masalah-masalah lain
yang bersangkutan dengan situasi dan perlakuan hukum sebagai buruh
migran dan anggota keluarganya. Negara-negara peserta harus tunduk pada
pembatasan-pembatasan yang dicantumkan dalam Konvensi ini.
Pasal 80
Tidak satupun isi Konvensi ini dapat ditafsirkan sehingga mengurangi
ketentuan dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi badanbadan
khusus yang merumuskan tanggungjawab terkait dari berbagai organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus, sehubungan dengan
masalah yang dicakup dalam konvensi ini.
Pasal 81
1. Tidak satupun isi Konvensi ini mempengaruhi hak dan kebebasan yang
lebih menguntungkan bagi buruh migran dan anggota keluarganya
dalam hal:
a. Hukum atau praktek disuatu Negara peserta; atau
b. Perjanjian bilateral maupun multilateral yang berlaku di Negara
peserta yang bersangkutan.
2. Tidak satupun isi Konvensi ini dapat ditafsirkan sehingga
mengimplikasikan adanya suatu hak bagi suatu Negara, kelompok
atau orang, untuk melakukan kegiatan atau menjalankan suatu
tindakan yang dapat mengganggu hak dan kebebasan yang
dicantumkan dalam konvensi ini.
Pasal 82
Hak buruh migran dan anggota keluarganya yang dicantumkan dalam
konvensi ini tidak bioleh dicabut. Dilarang untuk melakukan tekanan dalam
bentuk apapun terhadap buruh migran dan anggota keluarganya dengan
maksud agar mereka melepaskan hak diatas. Tidak dimungkinkan untuk
melalui perjanjian menghapuskan hak yang diakui dalam Kovenan ini. Negarnegara
peserta, harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
memastikan dihormatinya prinsip-prinsip ini.
Pasal 83
Setiap Negara peserta pada Konvensi ini berjanji:
a. untuk menjamin bahwa setiap orang yang hak dan
kebebasannya yang diakui disini dilanggar, akan mendapatkan
upaya penyelesaian yang efektif, walaupun pelanggaran
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam
kapasitas resmi;
b. untuk menjamin bahwa setiap orang yang mengusahakan upaya
penyelesaian diperiksa dan diputuskan kasusnya oleh pejabat
pengadilan, adminstratif atau legislatif yang berwenang atau
oleh pejabat berwenang lainnya yang ditentukan oleh sistem
hukum Negara itu, dan untuk mengembangkan kemungkinankemungkinan
upaya penyelesaian yudikatif;
c. untuk menjamin bahwa pejabat yang berwenang tersebut
melaksanakan upaya-upaya penyelesaian apabila diputuskan
untuk dikabulkan.
Pasal 84
Setiap Negara peserta berjanji untuk mengambil langkah-langkah
legislatif dan langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini.
BAGIAN IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa ditetapkan sebagai
penyimpan Konvensi ini.
Pasal 86
1. Konvensi ini terbuka untuk ditanda tangani oleh semua Negara.
Konvensi ini harus diratifikasi.
2. Konvensi ini terbuka untuk diaksesi oleh setiap Negara.
3. Instrumen ratifikasi atau aksesi akan diserahkan pada Sekretaris
Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.
Pasal 87
1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari pertama di bulan setelah jangka
waktu tiga bulan setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi
atua aksesi yang ke duapuluh.
2. Bagian setiap Negara peserta yang meratifikasi atau memlakukan
aksesi pada konvensi ini setelah berlakunya, konvensi ini mulai
berlaku pada hari pertama pada setelah jangka waktu tiga bulan
setelah tanggal penyempangan intrumen atau ritifikasinya sendiri
.
Pasal 88
Suatu Negara yang meratifikasi atau melakukan aksesi pada
konvensi ini tidak dapat mengecualikan penerapan dari bagian manapun
dalam konvensi ini, atau tanpa mengurangi pasal 3,mengecualikan katagori
tertetu dari buruh migran dalam penerapannya.
Pasal 89
1. Negara peserta dapat menarik diri dari konvensi ini tidak lebih awal dari
lima tahun setelah berlakunya konvensi ini di Negara yang
bersangkutan melalui pemberitahuan tertulis yang ditunjukan kepada
sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa
2. Penarikan diri ini akan berlaku pada hari pertama di bulan setelah
berakhirnya jangka waktu dua belas bulan setelah tanggal penerimaan
pemberitahuan oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Penarikan diri semacam itu tidak akan melepaskan Negara peserta dari
kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini berkenaan dengan
tindakan atau ketiadaan tindakan yang terjadi sebelum tanggal mulai
berlakunya penarikan diri, dan penarikan diri ini tidak memepengaruhi
dengan cara apapun pembahasan yang tengah berlangsung mengenai
masalah yang sedang dipertimbangkan Komite sebeleum tanggal mulai
berlakunya penarikan diri tersebut.
4. Setelah tanggal penarikan diri suatu Negara peserta mulai berlaku,
Komite tidak boleh memulai pembahasan kasus-kasus baru sehubungan
dengan Negara tersebut.
Pasal 90
1. Lima tahun setelah berlakunya Konvensi ini, Negara peserta dapat
mengusulkan perubahan, dan menyampaikan secara tertulis pada
Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekretaris Jendral
kemudian akan mengkomunikasikan usul perubahan apapun kepada
Negara-negara peserta, dengan permintaan untuk memberitahukan
padanya apakah mereka setuju akan diadakannya konferensi Negara
peserta untuk membahas danmelakukan pemungutan suara atas
usulan tersebut. Apabila dalam waktu empat bulan setelah diterimanya
komunikasi itu sekurang-kurangnya terdapat sepertiga Negar-negara
peserta yang menyetujui diadakannya konferensi, Sekretaris Jendral
akan menyelenggarakan konferensi dibawah naungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Setiap perubahan yang ditetapkan oleh mayoritas
Negara peserta yang hadir dan memberikan suara pada konferensi,
akan disampaikan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk mendapat persetujuan.
2. Perubahan-perubahan akan berlaku apabila telah disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan diterima oleh dua pertiga
mayoritas dari Negara peserta, sesuai dengan prosedur konstitusi
masing-masing.
3. Apabila perubahan telah berlaku, hal ini akan mengikat Negara-negara
peserta yang telah menerimanya, sedang Negara peserta lainnya
masih tetap terikat pada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini dan
perubahan-perubahan terdahulu yang telah mereka terima.
Pasal 91
1. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menerima dan
mengedarkan pada semua Negara, naskah reservasi yang dibuat oleh
Negara-negara pada saat dilakukannya penandatanganan, ratifikasi
dan aksesi.
2. Suatu reservasi yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi
ini tidak diperkenankan.
3. Reservasi dapat sewaktu-waktu ditarik kembali melalui suatu
pemberitahuan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian harus
memberitahukannya pada semua Negara. Pemberitahuan semacam ini
akan mulai berlaku pada diterimanya.
Pasal 92
1. Setiap sengketa antara dua atau lebih Negara-negara peserta
mengenai interprestasi atau penerapan Konvensi ini yang tidak
diselesaikan melalui negosiasi, atas permintaan salah satu dari
mereka, harus diajukan untuk arbitrase. Apabila dalam waktu enam
bulan sejak tanggal diajukannya permohonan arbitrase tersebut para
Pihak tidak dapat menyetujui pengaturan arbitrase, salah satu Pihak
dapat menyerahkan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional
melalui permohonan yang sesuai dengan Statuta Mahkamah tersebut.
2. Masing-masing Negara peserta pada saat penandatanganan atau
ratifikasi atau aksesi pada Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa ia
menganggap dirinya tidak terikat oleh ayat 1 pasal ini. Negara-negara
peserta lainnya tidak terikat oleh ayat 1 tersebut dalam hubungannya
dengan Negara peserta yang telah membuat pernyataan tersebut.
3. Setiap Negara peserta yang telah membuat pernyataan sesuai dengan
ayat 2 pasal ini, dapat sewaktu-waktu menarik kembali pernyataan
tersebut dengan memberitahukannya pada Sekretaris Jendral
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 93
1. Teks Konvensi ini dalam bahasa China, Inggris, Perancis, Rusia dan
Spanyol mempunyai kekuatan yang sama, akan disimpan olen
Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyampaikan
salinan resmi Konvensi ini pada semua Negara.
DEMIKIAN TELAH DISAKSIKAN OLEH para perwakilan Negara-negara
dibawah ini, yang telah diberi kuasa sebagaimana mestinya oleh Pemerintah
masing-masing, telah menandatangani Konvensi ini.
Translated by: KOMNAS HAM RI (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia) and British Council-Jakarta