Thursday, September 5, 2013

catatan miris TKI




catatan miris TKI

Selama sekitar tiga puluh tahun terakhir kesenjangan ekonomi nasional dan global memunculkan arus deras percari kerja yang melintas batas negara, termasuk pencari kerja dari Indonesia. Angka penganguran di Indonesia saat ini menunjukkan grafik yang terus meningkat dan menjadi salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia ditambah dengan gaji/upah yang tidak memadai dan dihadapkan dengan kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi, menyebabkan orang beramai-ramai untuk berusaha mengais rejeki dengan menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Pada saat ini, lowongan yang banyak tersedia untuk Tenaga kerja asal Indonesia adalah jenis pekerjaan sektor informal, dan bila dilihat berdasarkan
penempatannya per tahun 2011, urutan teratas adalah house maid (Penata Laksana Rumah Tangga/PLRT), pekerja wanita, perawat, operator, pekerja perkebunan, buruh lepas, pelayan restoran, tukang kebun, spa therapist, cleaning service, buruh cuci hingga koki, masih mendominasi dan itulah formasi yang diisi oleh para tenaga kerja dari Indonesia dan mayoritas adalah perempuan. Selain sektor informal yang tersedia, adanya struktur budaya yang menempatkan kaum perempuan di bawah laki-laki juga menjadi salah satu penyebab banyaknya perempuan yang berangkat menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Meskipun faktanya demikian, Warga negara Indonesia menggantungkan nasib hidupnya pada jenis pekerjaan informal tersebut dan mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari BNP2TKI, Provinsi pengiriman TKI terbesar yakni dari Jawa Barat sebanyak 145.012 orang, Jawa Tengah (122.814 orang), Jawa Timur (110.497 orang), Nusa Tenggara Barat (72.846 orang), Banten (27.963 orang), DKI Jakarta (18.204 orang), Lampung (17.790 orang), Bali (15.056 orang), Sulawesi Selatan (13.911 orang), dan Sumatera Utara (12.398 orang). Untuk Kabupaten, penyuplai TKI terbanyak yakni, Indramayu, kemudian Lombok, Cilacap, Cirebon, Cianjur, Karawang, Kendal, Brebes, Malang, Sukabumi, Serang, Subang, Ponorogo, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, Banyumas, Majalengka, Pati, Madiun, Lampung, Kediri, Bandung, Grobogan, Sumbawa, Jember, Magetan, dan daerah-daerah lainnya.
Negara yang menjadi tujuan para pencari kerja pada sektor informal asal Indonesia sebagian besar adalah negara Timur Tengah dan negara Asia Pasifik. Bila dikaji lebih jauh, para pencari kerja lebih memilih untuk bekerja di negara Timur Tengah, hal ini disebabkan karena persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pencari kerja cenderung lebih mudah. Berdasarkan fakta yang ada, sebagian besar tingkat pendidikan Tenaga Kerja Indonesia sektor informal yang berada di negara Timur Tengah hanya berpendidikan Sekolah dasar, bahkan ada yang tidak bersekolah. Berbeda halnya dengan tenaga kerja sektor informal yang ditempatkan di negara Asia Pasifik tingkat pendidikannnya diharuskan oleh pemerintah minimal berijasah SMP. Meskipun pemerintah telah menetapkan syarat batas minimal pendidikan bagi para pencari kerja yang ingin bekerja di luar negeri, namun para tenaga kerja Indonesia seringkali diperlakukan dengan tidak manusiawi di negara penempatan. Para tenaga kerja Indonesia sehingga seringkali tidak mengetahui hak-hak dan perlindungan apa saja yang mereka miliki.
Dari kerja keras Tenaga Kerja Indonesia di negeri orang, negara menerima sumbangan bagi tambahan devisa melalui remitansi mencapai USD US$4 miliar, dimana perolehan remitansi tersebut diperoleh dari remitansi TKI yang bekerja di negara-negara di kawasan Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia pada 2012 sampai dengan Mei sebesar US$2,8 miliar. TKI Hong Kong merupakan penyumbang devisa paling besar yakni US$400 juta, dengan jumlah TKI yang dikirim yakni sekitar 130.000 orang, sedangkan TKI yang dikirim ke Arab Saudi berjumlah sekitar 1,2 juta dengan perolehan devisa US$1,7 juta dan Malaysia dengan TKI sebesar 2,3 juta orang remitansi devisa yang diperoleh yakni US$2 juta (data dari BNP2TKI per Mei 2012). Angka tersebut belum termasuk besarnya putaran uang di dalam negeri yang mengiringi bisnis mobilisasi buruh migran.
Bila dikaji lebih rinci, fakta tersebut di atas ternyata tidak sebanding dengan apresiasi yang diberikan oleh Negara. Perlindungan dan penghormatan yang diberikan oleh pemerintah dirasa belum maksimal dan belum memihak kepada Tenaga Kerja Indonesia. Saat ini, payung hukum tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yakni Undang-Undang No.39 Tahun 2004 sudah tidak memadai lagi. Berdasarkan hasil audit BPK semester II/2010, penempatan Buruh Migrant Indonesia tidak didukung secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif dan transparan untuk melindungi hak-hak dasar TKI. Ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya sistem penempatan dan perlindungan Buruh Migrant Indonesia memberikan peluang terjadinya penyimpangan sejak proses rekrutmen, pelatihan dan pengujian kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di negara tujuan sampai dengan pemulangan Buruh Migrant Indonesia ke tanah air. Kompleksitas masalah tersebut mengakibatkan efektivitas penempatan dan perlindungan Buruh Migrant Indonesia tidak tercapai secara optimal.
Di tengah buruknya tata kelola Buruh Migrant Indonesia banyak sekali dijumpai baik itu dilapangan dan pemberitaan Buruh Migrant Indonesia melalui media elektronik, sederatan tumpukan kasus yang menimpa  Buruh Migrant Indonesia, mulai dari proses rekrutmen, masa penempatan, sampai dengan proses kepulangannya kembali ke tanah air sendiri. Pada proses rekrutmen, calon Buruh Migrant Indonesia kerap menjadi korban penipuan, pemalsuan data, dan pemerasan yang berujung pada masuknya mereka kedalam jaringan Buruh Migrant Indonesia illegal atau bahkan human-trafficking. Pada proses seleksi, Buruh Migrant Indonesia banyak mengalami pungutan selama pemeriksaan kesehatan dan pengurusan paspor. Pada proses penampungan, Calon Buruh Migrant Indonesia sering mengalami kekerasan verbal, fisik bahkan seksual. Selama masa ini calon Buruh Migrant Indonesia tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai, bahkan banyak diantaranya tidak mendapatkan informasi yang benar tentang proses migrasi yang aman dan benar hal ini terjadi karena kurangnya sosialisai yang di lakukan oleh pemangku kepentingan di daerah kantong Buruh Migrant Indonesia.
Setelah bekerja di negara penempatan, Buruh Migrant Indonesia banyak yang mendapatkan masalah seperti pemutusan kerja sepihak, diperjual belikan oleh para agency di Negara penempatan,tidak adanya kebebasan beribadah, penipuan, kekerasan verbal, fisik dan pelecehan seksual, gaji tidak di bayar, tidak adanya kebebasan berkomunikasi dengan pihak keluarganya (miss comunication), upah kerja yang tidak sesuai  dalam kesepakatan  kontrak kerja, dipindah kerjakan kepada pengguna lain tanpa melalui prosedur yang benar atau diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Yang paling tragis adalah banyak diantara Buruh Migrant Indonesia yang menjemput maut baik karena kekerasan maupun di tiang gantungan. Setelah berjuang di negeri orang, bukan penghargan dan sambutan layaknya pahlawan, sejak menginjakan kaki kembali di tanah air Buruh Migrant Indonesia kembali menjadi obyek kekerasan bahkan beberapa diantaranya tidak sempat kembali ke kampung halaman, menjadi korban pembunuhan. Kesulitan-kesulitan tersebut di atas, dijalani dengan sabar demi mendapatkan penghasilan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Penghasilan telah menjadi satu-satunya obyek penglihatan yang mengaburkan berbagai kenyataan pahit, sakit, dan tidak adil di sekitarnya.
Pada saat pulang di negara sendiri para Buruh Migrant Indonesia kerap di jadikan ladang bisnis seperti penukaran uang dengan krus tinggi, pengkhususan terminal 4 bagi Buruh Migrant Indonesia, Intimidasi pada saat di terminal 2 Bandara Soekarno Hatta Jakarta, baik itu oleh petugas Negara maupun oknum – oknum liar di sekitar bandara, pemaksaan untuk membeli makanan dengan harga yang tinggi di tempat – tempat singgah rumah makan yang telah disediakan oleh Negara pada saat kepulangan Buruh Migrant Indonesia ke daerah asal mereka, belum berakhir penderitaan mereka dengan pemaksaan dan pemerasan pada saat di dalam kendaraan travel pemulangan Buruh Migrant Indonesia oleh supir- supir travel resmi yang nakal.
Melihat fenomena diatas, lahirlah beberapa organisasi masyarakat sipil yang perduli terhadap nasib buruh migrant Indonesia, namun perjuangan yang dilakukan lebih banyak ke arah advokasi kebijakan dimana dari tahun ke tahun advokasi kebijakan Indonesia yang mengatur tentang buruh migran dirasa belum juga memihak kepada buruh migrant dan keluarganya. Hingga saat ini, tidak banyak kalangan organisasi masyarakat sipil yang bekerja di wilayah advokasi/pembelaan atas kasus-kasus yang menimpa Buruh Migrant Indonesia, padahal faktanya justru advokasi/pembelaan atas kasus-kasus yang menimpa buruh migrant indonesia sangat diperlukan kehadirannya.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang masih rentan terhadap masalah sosial – ekonomi, perlu bertindak aktif dalam melakukan upaya perlindungan buruh migrant Indonesia dan keluarganya yang lebih progresif dan komprehensif. Dampak dari lemahnya pelayanan pemerintah  dalam pemberian perlindungan atas hak buruh migrant Indonesia, ada fakta yang cukup mengagetkan seputar kehidupan buruh migrant Indonesia yaitu pada saat mereka memperjuangkan harga dirinya demi menjaga kehormatanya dari para majikan biadab mereka harus merelakan nasibnya di ujung golok algojo maupun tiang gantung

No comments:

Post a Comment