Selama sekitar tiga puluh tahun terakhir
kesenjangan ekonomi nasional dan global memunculkan arus deras percari kerja
yang melintas batas negara, termasuk pencari kerja dari Indonesia. Angka
penganguran di Indonesia saat ini menunjukkan grafik yang terus meningkat dan
menjadi salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia.
Kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia ditambah dengan gaji/upah yang tidak
memadai dan dihadapkan dengan kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin
tinggi, menyebabkan orang beramai-ramai untuk berusaha mengais rejeki dengan
menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Pada saat ini, lowongan yang banyak
tersedia untuk Tenaga kerja asal Indonesia adalah jenis pekerjaan sektor
informal, dan bila dilihat berdasarkan
penempatannya per tahun 2011, urutan teratas adalah house maid (Penata Laksana Rumah Tangga/PLRT), pekerja wanita,
perawat, operator, pekerja perkebunan, buruh lepas, pelayan restoran, tukang
kebun, spa therapist, cleaning service, buruh cuci hingga
koki, masih mendominasi dan itulah formasi yang diisi
oleh para tenaga kerja dari Indonesia dan mayoritas adalah perempuan. Selain
sektor informal yang tersedia, adanya struktur budaya
yang menempatkan kaum perempuan di bawsah laki-laki juga menjadi salah satu penyebab banyaknya perempuan yang berangkat menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Meskipun faktanya demikian, Warga negara Indonesia menggantungkan nasib hidupnya pada jenis pekerjaan informal tersebut dan mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari BNP2TKI, Provinsi pengiriman TKI terbesar yakni dari Jawa Barat sebanyak 145.012 orang, Jawa Tengah (122.814 orang), Jawa Timur (110.497 orang), Nusa Tenggara Barat (72.846 orang), Banten (27.963 orang), DKI Jakarta (18.204 orang), Lampung (17.790 orang), Bali (15.056 orang), Sulawesi Selatan (13.911 orang), dan Sumatera Utara (12.398 orang). Untuk Kabupaten, penyuplai TKI terbanyak yakni, Indramayu, kemudian Lombok, Cilacap, Cirebon, Cianjur, Karawang, Kendal, Brebes, Malang, Sukabumi, Serang, Subang, Ponorogo, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, Banyumas, Majalengka, Pati, Madiun, Lampung, Kediri, Bandung, Grobogan, Sumbawa, Jember, Magetan, dan daerah-daerah lainnya.
yang menempatkan kaum perempuan di bawsah laki-laki juga menjadi salah satu penyebab banyaknya perempuan yang berangkat menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Meskipun faktanya demikian, Warga negara Indonesia menggantungkan nasib hidupnya pada jenis pekerjaan informal tersebut dan mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari BNP2TKI, Provinsi pengiriman TKI terbesar yakni dari Jawa Barat sebanyak 145.012 orang, Jawa Tengah (122.814 orang), Jawa Timur (110.497 orang), Nusa Tenggara Barat (72.846 orang), Banten (27.963 orang), DKI Jakarta (18.204 orang), Lampung (17.790 orang), Bali (15.056 orang), Sulawesi Selatan (13.911 orang), dan Sumatera Utara (12.398 orang). Untuk Kabupaten, penyuplai TKI terbanyak yakni, Indramayu, kemudian Lombok, Cilacap, Cirebon, Cianjur, Karawang, Kendal, Brebes, Malang, Sukabumi, Serang, Subang, Ponorogo, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, Banyumas, Majalengka, Pati, Madiun, Lampung, Kediri, Bandung, Grobogan, Sumbawa, Jember, Magetan, dan daerah-daerah lainnya.
Negara yang menjadi tujuan para pencari
kerja pada sektor informal asal Indonesia sebagian besar adalah negara Timur
Tengah dan negara Asia Pasifik. Bila dikaji lebih jauh, para pencari kerja
lebih memilih untuk bekerja di negara Timur Tengah, hal ini disebabkan karena
persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pencari kerja cenderung lebih mudah.
Berdasarkan fakta yang ada, sebagian besar tingkat pendidikan Tenaga Kerja
Indonesia sektor informal yang berada di negara Timur Tengah hanya
berpendidikan Sekolah dasar, bahkan ada yang tidak bersekolah. Berbeda halnya
dengan tenaga kerja sektor informal yang ditempatkan di negara Asia Pasifik
tingkat pendidikannnya diharuskan oleh pemerintah minimal berijasah SMP.
Meskipun pemerintah telah menetapkan syarat batas minimal pendidikan bagi para
pencari kerja yang ingin bekerja di luar negeri, namun para tenaga kerja
Indonesia seringkali diperlakukan dengan tidak manusiawi di negara penempatan.
Para tenaga kerja Indonesia sehingga seringkali tidak mengetahui hak-hak dan
perlindungan apa saja yang mereka miliki.
Dari kerja keras Tenaga Kerja Indonesia
di negeri orang, negara menerima sumbangan bagi tambahan devisa melalui
remitansi mencapai USD US$4 miliar,
dimana perolehan remitansi tersebut diperoleh dari remitansi TKI yang bekerja di negara-negara di kawasan
Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia pada 2012 sampai dengan Mei
sebesar US$2,8 miliar. TKI Hong Kong merupakan penyumbang devisa paling besar
yakni US$400 juta, dengan jumlah TKI yang dikirim yakni sekitar 130.000 orang,
sedangkan TKI yang dikirim ke Arab Saudi berjumlah sekitar 1,2 juta dengan
perolehan devisa US$1,7 juta dan Malaysia dengan TKI sebesar 2,3 juta orang remitansi
devisa yang diperoleh yakni US$2 juta (data dari BNP2TKI per Mei 2012). Angka
tersebut belum termasuk besarnya putaran uang di dalam negeri yang mengiringi
bisnis mobilisasi buruh migran.
Bila dikaji lebih rinci, fakta tersebut
di atas ternyata tidak sebanding dengan apresiasi yang diberikan oleh Negara.
Perlindungan dan penghormatan yang diberikan oleh pemerintah dirasa belum
maksimal dan belum memihak kepada Tenaga Kerja Indonesia. Saat ini, payung
hukum tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
yakni Undang-Undang No.39 Tahun 2004 sudah tidak memadai lagi. Berdasarkan
hasil audit BPK semester II/2010, penempatan Buruh Migrant Indonesia tidak
didukung secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif dan transparan
untuk melindungi hak-hak dasar TKI. Ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya
sistem penempatan dan perlindungan Buruh Migrant Indonesia memberikan peluang
terjadinya penyimpangan sejak proses rekrutmen, pelatihan dan pengujian
kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di negara tujuan sampai dengan
pemulangan Buruh Migrant Indonesia ke tanah air. Kompleksitas masalah tersebut
mengakibatkan efektivitas penempatan dan perlindungan Buruh Migrant Indonesia
tidak tercapai secara optimal.
Di tengah buruknya tata kelola Buruh
Migrant Indonesia banyak sekali dijumpai baik itu dilapangan dan pemberitaan
Buruh Migrant Indonesia melalui media elektronik, sederatan tumpukan kasus yang
menimpa Buruh Migrant Indonesia, mulai
dari proses rekrutmen, masa penempatan, sampai dengan proses kepulangannya
kembali ke tanah air sendiri. Pada proses rekrutmen, calon Buruh Migrant
Indonesia kerap menjadi korban penipuan, pemalsuan data, dan pemerasan yang
berujung pada masuknya mereka kedalam jaringan Buruh Migrant Indonesia illegal
atau bahkan human-trafficking. Pada proses seleksi, Buruh Migrant Indonesia
banyak mengalami pungutan selama pemeriksaan kesehatan dan pengurusan paspor.
Pada proses penampungan, Calon Buruh Migrant Indonesia sering mengalami
kekerasan verbal, fisik bahkan seksual. Selama masa ini calon Buruh Migrant
Indonesia tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai, bahkan
banyak diantaranya tidak mendapatkan informasi yang benar tentang proses
migrasi yang aman dan benar hal ini terjadi karena kurangnya sosialisai yang di
lakukan oleh pemangku kepentingan di daerah kantong Buruh Migrant Indonesia.
Setelah bekerja di negara penempatan, Buruh Migrant Indonesia banyak yang
mendapatkan masalah seperti pemutusan kerja sepihak, diperjual belikan oleh para
agency di Negara penempatan,tidak adanya kebebasan beribadah, penipuan,
kekerasan verbal, fisik dan pelecehan seksual, gaji tidak di bayar, tidak
adanya kebebasan berkomunikasi dengan pihak keluarganya (miss comunication),
upah kerja yang tidak sesuai dalam
kesepakatan kontrak kerja, dipindah
kerjakan kepada pengguna lain tanpa melalui prosedur yang benar atau
diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Yang paling tragis adalah banyak
diantara Buruh Migrant Indonesia yang menjemput maut baik karena kekerasan
maupun di tiang gantungan. Setelah berjuang di negeri orang, bukan penghargan
dan sambutan layaknya pahlawan, sejak menginjakan kaki kembali di tanah air
Buruh Migrant Indonesia kembali menjadi obyek kekerasan bahkan beberapa
diantaranya tidak sempat kembali ke kampung halaman, menjadi korban pembunuhan.
Kesulitan-kesulitan tersebut di atas, dijalani dengan sabar demi mendapatkan
penghasilan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga yang ditinggalkan.
Penghasilan telah menjadi satu-satunya obyek penglihatan yang mengaburkan
berbagai kenyataan pahit, sakit, dan tidak adil di sekitarnya.
Pada saat pulang di negara sendiri para
Buruh Migrant Indonesia kerap di jadikan ladang bisnis seperti penukaran uang
dengan krus tinggi, pengkhususan terminal 4 bagi Buruh Migrant Indonesia,
Intimidasi pada saat di terminal 2 Bandara Soekarno Hatta Jakarta, baik itu
oleh petugas Negara maupun oknum – oknum liar di sekitar bandara, pemaksaan
untuk membeli makanan dengan harga yang tinggi di tempat – tempat singgah rumah
makan yang telah disediakan oleh Negara pada saat kepulangan Buruh Migrant
Indonesia ke daerah asal mereka, belum berakhir penderitaan mereka dengan
pemaksaan dan pemerasan pada saat di dalam kendaraan travel pemulangan Buruh
Migrant Indonesia oleh supir- supir travel resmi yang nakal.
Persoalan yang dihadapi Buruh Migrant Indonesia secara menyeluruh
tidak hanya terkait dengan tempat kerja, majikan dan persoalan hukum negara
tujuan, melainkan juga kerap ditimbulkan oleh Buruh Migrant Indonesia itu
sendiri. Salah satu persoalan yang timbul adalah persoalan pengelolaan ekonomi
yang dihasilkan semasa bekerja. Gaji yang besar, penghasilan yang cukup dan
upah yang menarik harus dapat dikelola dengan baik agar dapat menghindarkan
Buruh Migrant Indonesia dari ketergantungan untuk bekerja di luar negeri
setelah kepulangan ke Indonesia.
Beberapa kasus yang masuk ke Migrant Institute
menunjukkan bahwa Buruh Migrant Indonesia dan keluarganya tidak memiliki
perencanaan yang cukup baik terkait dengan penghasilan yang diperoleh dari
bekerja di luar negeri. Kegagalan mengelola uang cash yang dimiliki baik yang
dikirimkan ke keluarganya maupun yang dibawa sepulang dari luar negeri banyak
membuat para Buruh Migrant Indonesia harus kembali ke luar negeri. “Keluarga
Buruh Migrant Indonesia akhirnya menjadi tergantung pada pengiriman uang dan
akibatnya para Buruh Migrant Indonesia terjebak dalam siklus migrasi.
Melihat fenomena diatas, banyak
melahirkan beberapa organisasi masyarakat sipil yang perduli terhadap nasib
buruh migrant Indonesia, namun perjuangan yang dilakukan lebih banyak ke arah
advokasi kebijakan dimana dari tahun ke tahun advokasi kebijakan Indonesia yang
mengatur tentang buruh migran dirasa belum juga memihak kepada buruh migrant
dan keluarganya. Hingga saat ini, tidak banyak kalangan organisasi masyarakat
sipil yang bekerja di wilayah ekonomi maupun pemberdayaan bagi Buruh Migrant
Indonesia, padahal faktanya salah satu
penyebab dari akar masalah Buruh Migrant Indonesia adalah permasalahan ekonomi
dan pendidikan yang tidak memadai. Dalam konteks inilah, Migrant Institute mengambil inisiatif untuk
menjalankan sebuah program pengembangan kapasitas Buruh Migrnt Indonesi dan
keluarganya dengan menciptakan model kemandirian ekonomi Buruh Migrant Indonesia
purna khususnya Buruh Migrant Indonesia perempuan sehingga diharapkan dapat
menjadi role models bagi Buruh Migrant Indonesia perempuan lainya sekaligus
menjadikannya pemutus mata rantai kemiskinan bagi diri dan keluarganya agar
mereka tidak berniat lagi bekerja ke luar negeri karena telah menemukan
lapangan pekerjaan yang baru yaitu melakukan kemandirian ekonomi dengan
berwirausaha.
No comments:
Post a Comment